Pernikahan merupakan perjanjian antara dua manusia yang memerlukan tanggung jawab, komitmen, dan kasih sayang.Namun dibalik itu semua, pernikahan sesungguhnya pertukaran sumberdaya antar perempuan dan lelaki. Bukan sekedar pertukaran cinta, budaya, namun terlebih pada sumberdaya yang dimiliki keduanya. Perempuan memiliki kebeliaan fisik dan menguasai keterampilan hidup (memasak, membesarkan dan mendidik anak, mengurus rumah, melayani suami dll) sedangkan lelaki memiliki kemampuan menghasilkan sumberdaya. Jika kita kembali belajar dari nenek moyang kita saat zaman purba. Begitu lumrah kita melihat film tentang manusia purba pria pergi berburu untuk makan keluarga dan manusia purba perempuan menggendong anaknya menunggu di perkampungan. Sudah banyak pergeseran kultur manusia sejak zaman modern dienyam manusia. Tidak lagi kaum pria yang mampu mencari sumberdaya (baca : nafkah) namun kini perempuan pun turut serta mengupayakan sumberdaya (baca : bekerja).
Tentu kita familiar dengan kata motivasi Pak Mario Teguh “Wanita suka laki-laki yang jelas. Jelas cintanya, lamarannya, kesejahteraannya, dan jelas tidak akan membagi cinta”. Sejatinya perempuan selalu berharap seorang lelaki itu setia kepada dirinya seorang. Fitrah seorang perempuan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang mampu mengandung dan melahirkan anak ke dunia, menuntut perempuan untuk memilih bersama lelaki yang mampu memberikan perlindungan kepada dirinya dan anaknya. Bukan hanya memberi perlindungan, tapi lebih akankah lelaki itu mau membagi sumberdaya yang dihasilkannya (baca : bekerja mencari nafkah) untuk anak istrinya dalam jangka waktu panjang. Selain itu, sebagai makhluk yang dikaruniai hati dan akal, sejatinya kita (perempuan dan lelaki) hidup untuk meraih kebahagiaan tidak hanya terpenuhi dari segi materi, namun juga terpenuhinya rohani dan batiniah.
Jangan lagi menyangkal, kaum perempuan lebih tertarik kepada pria yang jelas masa depannya. Bukan karena dia sudah memiliki harta dan ketampanan yang tak habis dimakan tujuh turunan. Namun lebih kepada usaha dia (lelaki) itu untuk memperjuangkan kehidupannya dan mengupayakan cintanya. Tengok saja realita kehidupan modern masa kini. Kaum lelaki cenderung lebih memilih menikah dengan perempuan yang dinilai memiliki standar setara atau dibawahnya. Misalnya seorang manajer pria berusia 32 tahun dengan penghasilan 8 – 10 juta per bulan menikah dengan perempuan berusia 25 tahun dengan tingkat pendidikan setara S1 namun tidak memiliki jabatan lebih tinggi dari sang pria. Tentu dari segi sang pria, sulit untuk memilih hidup bersama perempuan yang standar kehidupannya jauh diatas sang pria. Dan hal itu berlaku pula sebaliknya, bagi perempuan lebih memilih menikah dengan pria yang berada di atas standar perempuan (baca : mapan). Lagi – lagi kembali pada pertukaran sumberdaya. Semakin belia usia perempuan dari sang pria kemungkinan untuk menghasilkan keturunan dan mengabdikan hidupnya untuk keluarga juga lebih tinggi. Pria mapan lebih memiliki kepastian dan kestabilan menghasilkan sumberdaya yang jauh lebih banyak. Bukan maksud menyulut pemikiran perempuan untuk matre. Tapi lebih berpikir jauh masa depan, tentang kehidupan keturunannya dan keluarganya. Mengutip motivator Mario Teguh “Perempuan bersikap matre karena dia yang mengelola keluarga, merawat suaminya, membesarkan dan mendidik anak-anaknya, memastikan rumah nyaman dan aman bagi keluarganya, makanan mereka sehat dan enak dan itu semua membutuhkan biaya”. Pria menghasilkan sumberdaya untuk kehidupan yang baik sedangkan perempuan memiliki kemampuan untuk memberikan garis keturunan dan merawat keluarga seumur hidupnya. Toh,perempuan tidak perlu munafik, saat kita tak mengakui kita tak membutuhkan lelaki itu hanyalah sebuah penyangkalan. Tentu jauh dilubuk hati seorang perempuan baik itu single, sudah berkeluarga, maupun janda menginginkan sosok lelaki sejati dalam hidupnya. Semoga kita dipertemukan dengan sebaik – baiknya belahan jiwa.