Olahraga di CFD Bitung tiap hari Sabtu |
Menikah. Fase kehidupan tiap manusia yang dijalani. Berganti status dari single jadi double :D. Eh maksudnya dari lajang jadi menikah. Hal yang lumrah pasti tiap pasangan yang telah menikah menikmati kehidupan berumah tangga, berkomitmen melalui suka duka berdua. Lantas bagaimana dengan saya? Saya paham betul bahwa kodrat sebagai perempuan yang menikah dengan berbakti kepada suami selain tentu tetap berbakti kepada kedua orangtua. Tekad bulat saya ketika menikah yaitu saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan merantau bersama suami. Masa iya harus menjalani MDR (Marriage Distance Relationship). Oh tidak. Masalah jarak dan waktu yang terbentang antara Probolinggo – Bitung tentu akan menyulitkan untuk kami berdua. Berat memang melepaskan pekerjaan yang saya sukai, kedekatan dengan keluarga,kerabat dan sahabat serta berbagai hal yang pasti saya rindukan tentang kehidupan di Jawa. Tapi bukankah hidup harus terus berlanjut…
Peta Pulau Sulawesi dan saya di kota Bitung |
Pertanyaan yang terlontar untukku, “Gimana rasanya udah menikah dan pindah merantau ke Bitung?”, tentu saja aku menjawab mantap Alhamdulillah bahagia setelah menikah. Setelah melewati 4 tahun LDR (Long Distance Relationship) yang ketemunya jarang pake banget, dan banyak orang yang meragukan hubungan kita tak mungkin berhasil karena dua suku dan budaya yang berbeda yaitu Jawa & Makassar serta masih banyak lagi keraguan untuk kita. Namun seperti halnya jodoh itu kebetulan yang tak terduga. Siapa yang mengira jika saya seorang perempuan yang dilahirkan dan dibesarkan di Malang bisa berjodoh dengan seorang laki – laki Makassar. Jodoh itu kebetulan yang kita upayakan, doakan dan disempurnakan dengan tawakkal. Meninggalkan zona nyaman (keluarga, segala kehidupan dan fasilitasnya) yaitu Pulau Jawa dan merantau ke Pulau Sulawesi tepatnya Kota Bitung. Zona nyaman (Pulau Jawa) itu harus kutinggalkan untuk menikmati zona nyaman berikutnya yaitu Kota Bitung. Alhamdulillah saya termasuk orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Jadi bukanlah penghalang untuk menikmati kehidupan di perantauan.
Depan rumah di Kota Bitung |
Setelah tinggal di Bitung selama 1 bulan ini aku merasakan waktu terasa begitu cepat berlalu. Ya mungkin dampak masih terbawanya jam alam dari Jawa yang berbeda waktu satu jam di Bitung. Misalnya seperti jam 17.45 WITA yang masih cerah berbeda halnya dengan di Jawa pasti sudah mulai meredup cahaya mentari. Kalo masalah makanan sih ya kita beli makanan yang familiar buat kami aja. Seringnya masak di rumah, jadi menu makanannya disesuaikan dengan kemampuan memasak. Haha. Perihal kemampuan memasak ya jujur saja saya teramat “cupu” (culun punya). Memasak nasi dengan magic jar aja pernah nggak matang, ya alhasil dimasak lagi dengan dandang. Sementara ini saya benar – benar berusaha meningkatkan kemampuan & rasa dalam memasak. Untuk memudahkan saya dalam memasak yang masih cupu, seringkali saya memasak ulang masakan sesuai resep yang tertera pada aplikasi cookpad. Tentu aplikasi semacam ini sangat membantu bagi semua mama muda yang melek internet dalam memasak. Jadi bisa disimpulkan bukan kesibukan saya saat ini sebagai ibu rumah tangga. Ya dijalani, dinikmati dan disyukuri. Alhamdulillah.
Suami beserta wartawan di Kota Bitung |
Perlahan tapi pasti suami saya mulai menjalin silahturahmi dengan beberapa komunitas maupun perseorangan di Kota Bitung. Beliau memang termasuk berjiwa sosial tinggi. Hal yang patut saya teladani dari suami saya. Sebagai perantau lebih baik kita berusaha berbaur dan bersosialisasi dengan masyarakat di kota tempat kita tinggal. Ya kalo saya mendekatkan diri dengan tetangga rumah dulu. Selalu teringat pernyataan bahwa tetangga adalah saudara terdekat kita. Menurut pendapat saya, kebahagiaan hidup bukan hanya terletak pada terpenuhinya materi, tapi jika orang lain dan lingkungan menerima dengan baik itu juga merupakan kebahagiaan hidup. Ciye… tumben bijak banget kata – kataku yak :D.
Monumen Tugu Cakalang Bitung |
Suasana di Kota Bitung tidak jauh berbeda dengan kota lainnya di Jawa. Ya kurang lebih seperti Kota Probolinggo. Tapi yang pasti kita belum menemukan moda transportasi kereta api ya. Hmm.. semoga nanti Trans Sulawesi menghubungkan semua daerah di Pulau Sulawesi melalui sarana perkeretaapian. Untuk menuju Kota Bitung melalui jalur udara dari Makassar memakan waktu 1 jam 45 menit tiba di Manado tepatnya Bandara Sam Ratulangi. Perjalanan darat dari Manado ke Bitung dibutuhkan waktu + 1 jam. Kesan pertama saya tentang Kota Bitung, cukup menyenangkan karena sebuah kota dengan geliat perekonomian yang baik, pemukiman padat, berbagai pertokoan & tempat peribadatan, berjejernya pabrik, bersih serta jalanan lebar beraspal mulus, haha. Poin terakhir penilaian penting buat saya, untuk mendorong kemajuan suatu daerah harus ditunjang dengan fasilitas jalan yang memadai. Percuma dong banyak sumberdaya penghasil ekonomi, tapi akses transportasi sangat sulit. Aah miris sekali bukan. Nggak ngebayangin deh kalo akses jalan raya di Bitung seperti jalan poros Trans Kalimantan yang “masih bernasib tragis” dengan lumpur tebalnya setiap kendaraan terpaksa harus terkendala dalam perjalanannya. Kota Bitung dikenal dengan taglinenya Kota Cakalang, yang diabadikan dalam monumen cakalang seakan ikut menegaskan ikan Cakalang menjadi ikon kota. Saya sendiripun beberapa kali mendampingi suami bekerja di memantau bongkat muat ikan.
Aktivitas bongkar muat ikan di KM Perindo Jaya |
Kami berdua meneguhkan hati dan membulatkan tekad untuk merantau jauh dari tanah kelahiran. Harapan kami, tiap upaya kecil yang kami lakukan saat ini dapat mendidik kemandirian dan disertai kerja keras dan doa sehingga mampu mereguk kesuksesan di masa depan. Amiin.
With love,
Puput
Tidak ada komentar:
Posting Komentar