Oleh
: Restu Putri Astuti
Gebrakan
kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Ibu Susi Pudjiastuti, tidak terhenti
pada pemberantasan pelaku illegal fishing. Sejak hebohnya, penenggelaman dan
pengeboman kapal pencuri ikan di laut Indonesia, perhatian media tertuju pada
kementerian yang pada mulanya akan digadang gadang untuk dilebur dengan
Kementerian Pertanian. Prokontra kembali terjadi dengan Terbitnya Permen Nomor
1 tahun 2015 tentang penangkapan Lobster (Panulirus
spp.), Kepiting (Scylla spp.),
dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.). Kebijakan
pembatasan penangkapan ketiga jenis komoditas penting ini diakibatkan bahwa keberadaan
dan ketersediaan telah mengalami penurunan
populasi. Seperti yang dikutip pada media indopos (19/01/2015), Langkah tersebut sebagai upaya dalam
mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan.
Permen ditetapkan pada 8 Januari 2015 dan mulai diberlakukan pada 9 Januari
2015 lalu.
Dalam permen nomor 1 tahun 2015
tersebut terdapat 5 pasal yang menekankan bahwa setiap orang dilarang menangkap
Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus
pelagicus spp.) dalam kondisi bertelur. Selanjutnya, terdapat pembatasan ukuran
tangkap pada masing – masing spesies. Ukuran yang diperbolehkan seperti
Lobster dapat ditangkap dengan ukuran panjang karapas di atas 8 cm (setara
200 gram), Kepiting di atas 15 cm (350 gram keatas) dan Rajungan dengan ukuran
lebar karapas di atas 10 cm. Selain itu, setiap orang yang menangkap ketiga
spesies diatas, wajib melepaskan kembali ke laut jika dalam kondisi bertelur
dan melakukan pencatatan termasuk pada penangkapan dengan ukuran yang tidak
sesuai atau dalam keadaan mati serta dilaporkan pada Direktur Jenderal
melalui kepala pelabuhan pangkalan. Denda bagi para nelayan atau
pembudidaya kedapatan memperjual belikan lobster atau kepiting yang bertelur,
maka akan dikenali sanksi nelayan kecil maksimal Rp 100 juta, sementara
pengusaha akan dikenali sanksi maksikmal Rp 250 juta. ”Sejauh ini tidak pidana,
tapi masih denda materi,’’ tandas Hanung Cahyono, Kepala Biro Hukum dan
Organisasi KKP. (Indopos, 19/01/2015)
Gelombang
aksi protes menentang kebijakan terbaru Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) seperti yang dilakukan oleh Aliansi Nelayan dan Petani Budidaya Lobster NTB
meminta agar pemerintah segera menghapus Peraturan Menteri (Permen) Kelautan
dan Perikanan No. 1/ Permen-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan
Rajungan karena dianggap hanya merugikan nelayan, petani budidaya lobster, serta
pedagang lobster (Solopos, 19/01/2015).
Melalui akun twitter @susipudjiastuti, beliau kembali menegaskan
walaupun telah lama menjadi pengusaha eksportir perikanan seperti lobster dengan
diberlakukan Permen Nomor 1 tahun 2015, perusahaannya pun ikut melepaskan
kembali ke laut lobster yang tidak masuk dalam kategori tangkap maupun bertelur
hal ini semata untuk melestarikan sumberdaya perikanan. Menurut hemat saya,
kebijakan ini tentu patut diapresiasi karena ekploitasi berlebihan tentu mengakibatkan
penurunan produksi yang berdampak pada kelestarian sumberdaya. Di satu sisi,
kebijakan ini juga merupakan investasi jangka panjang bagi para pengusaha,
nelayan, dan pembudidaya yang menggantungkan hidup pada Rajungan, Lobster dan
Kepiting. Kenapa demikian? Investasi jangka panjang yang dimaksud melalui
pembatasan tangkapan ini tentu akan
menjamin stok sumberdaya di masa depan. Bayangkan jika kita terus saja
menangkap tanpa pernah membiarkan mereka hidup besar beranak pinak, wajar saja
ketika kepiting, rajungan dan lobster nanti tak lagi bisa kita nikmati. Tentu
kita tidak berharap seperti itu bukan?!
Ada satu twit ibu Susi yang bagi
saya cukup unik “Sms yg masuk ke sy "Anaknya ditangkap buat soka mamanya
blm sempat bertelur ditangkap jg utk expor ke China. Gimana ndak habis punah..”.
Nah mari kita, berpikir untuk kebaikan di masa depan dengan melakukan berbagai
tindakan yang terbaik untuk melindungi sumberdaya perikanan. Semangat Ibu Susi
!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar