Terinspirasi dari rutinnya
sahabat saya Dwi Rohma yang memposting kegiatan belajar bersama putri kecilnya yang
bernama Ilma di facebook membuat saya tergerak ingin tahu metode mendidiknya. Seru
sekali melihat balita perempuan itu aktif belajar dari berbagai materi yang
disajikan ibunya setiap sore. Dwi Rohma sebagai ibu muda tidak hanya
mengembangkan minat membaca putri kecilnya, tapi membuat sendiri berbagai media
belajar dari benda – benda yang mudah didapatkan di lingkungan rumah. Tentu hal itu mendorong perasaan suka belajar pada anak. Karena belajar bukan hanya tentang pandai calistung (baca, tulis dan hitung). Ilma, tumbuh menjadi anak yang suka belajar dan akhirnya memahami. Tugas orang tua dan guru bukan hanya dituntut untuk bisa, tapi bagaimana anak itu menyukai belajar dengan berbagai macam ilmu. Ketika anak - anak tertarik dan menyukai belajar karena metode belajar yang berbeda dengan konvensional maka bukan hanya bisa tapi mereka bisa memahami dan mengembangkan ilmu itu. Ketertarikan
saya berlanjut dengan perbincangan dengan Dwi via whatsapp. Ternyata Dwi telah bergabung aktif di Institut Ibu
Profesional (IIP) yang membuatnya terlihat berbeda dari kebanyakan Ibu dalam
mendidik anaknya. Saya sendiri insya allah bergabung di IIP batch V pada bulan
September 2017. Jadi, apa sih Institut Ibu Profesional (IIP)? Rasanya saya
sendiri belum pantas menjawabnya karena belum tergabung pada komunitas
tersebut. Alangkah baiknya pertanyaan itu dengan menggali lebih jauh tentang
IIP via internet ya, bisa googling atau menengok videonya di youtube.
Mirisnya saat ini terlihat
lumrah saja, balita asik bermain sebuah telepon genggam atau tab. Karena disadari
atau tidak kita membuat karakter anak menjadi apatis terhadap lingkungan. Sebagai
orangtua seyogyanya bisa mendampingi dan memberikan batasan pada anak untuk
bermain dengan gadget. Faktanya penelitian dari Universitas Leeds dan
Universitas Manchester and Institute of Cancer Research menyatakan bahwa
penggunaan gadget utamanya telepon genggam yang mengeluarkan radiasi microwave dapat menghancurkan sel – sel otak
balita. Selain itu, menyebabkan menurunnya kemampuan interaksi anak terhadap
lingkungan, kurang berminat bermain di alam, merusak penglihatan dan menganggu
perkembangan psikologis anak.
Saya adalah anak yang
dibesarkan pada generasi era tahun 90-an yang notabene masih banyak didominasi
dengan aktivitas permainan tradisional tanpa gadget, mengaji dan aktivitas
lainnya. Berbeda halnya dengan anak yang dibesarkan di era milenial ini, gadget seperti kebutuhan utama dalam
aktivitas keseharian. Tidak lagi suara riuh ramai di lapangan sepakbola, taman,
bahkan mushola untuk mengaji. Ingatan saya kembali ke masa kanak – kanak. Kenapa
saya suka membaca buku? Ternyata hal itu tidak serta merta instan saya
dapatkan. Aktivitas membaca itu telah lebih dulu dilakukan ibu saya semenjak
saya balita. Teringat sebelum tidur, ibu saya dengan telaten membacakan berbagai
buku dongeng. Saya mungkin waktu itu hanya tertarik dengan gambar dan suara ibu
saya. Menginjak usia sekolah, orangtua saya rutin membelikan majalah bacaan
anak – anak seperti Bobo dan Mentari. Hayo, pasti anak generasi 90-an pasti
familiar lah dengan majalah Bobo. Ingat pasti dengan berbagai tokoh karakter
bergambar kelinci dengan berbagai konten yang sangat pas dibaca oleh anak –
anak. Saat ini sudah banyak sekali alternatif buku bacaan dengan konten
berkualitas untuk anak – anak.
Selain itu saat saya terima
rapor, saya selalu diajak kedua orangtua saya ke Gramedia. Bebas memilih buku
yang saya suka. Lantas perlahan semua itu terakumulasi, semenjak SMP saya rajin
mengunjungi perpustakaan umum di Kota Malang untuk meminjam buku. Tidak hanya
buku pelajaran, novel, pengetahuan umum say baca. perbedaan cara mendidik ibu
saya terlihat pada adik laki – laki saya. Yang sedari kecil tidak dibiasakan
membaca buku seperti saya. Tampak nyata, dia jarang sekali membaca bahkan
menyukai membaca buku teks seperti saya. Sampai saat ini, saya selalu
menyempatkan untuk membeli dan membaca buku. Tidak hanya itu, aktivitas membaca saya
terakumulasi dengan kesukaan saya dalam menulis. Sebagai orang tua kita harus
kreatif untuk memberikan berbagai aktivitas dalam mendidik anak yang
berpengaruh pada kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional. Namun semua itu kembali kepada pilihan dan
komitmen orangtuanya.
Saat ini saya juga sudah menjadi
seorang ibu. Dalam KBBI, ibu adalah wanita yang telah melahirkan seseorang, sebutan
untuk wanita yang sudah bersuami, dan panggilan yang takzim kepada wanita baik
yang sudah bersuami maupun belum. Ya saya termasuk pada pengertian ibu yang
kedua dan ketiga. Kita sebagai perempuan, tidak harus menunggu untuk menikah
dan memiliki anak untuk memantaskan diri sebagai ibu. Lebih cepat kita belajar
memahami peran kita sesungguhnya dalam kehidupan menjadi lebih baik. Saya sadar
ilmu mendidik anak itu tidak instan. Tidak bisa serta merta disamaratakan pola
mendidik anak seperti mendidik anak di zaman dulu kita dibesarkan. Karena dunia
terus berubah. Suka ataupun tidak, anak – anak kita nantinya akan hidup di
zamannya yang akan berbeda jauh dengan zaman ini. Sudah siapkah kita menjadi
individu pembelajar ? sudah cukupkah ilmu kita ? saya sebagai individu manusia,
menyadari saya hanyalah manusia yang harus terus belajar dan memperbaiki diri
menjadi lebih baik.
Sudah saatnya kita sebagai perempuan, harus
menuntut ilmu sebagai bekal dalam universitas kehidupan. Dari ilmu yang kita
pahami itu, maka kita bisa mendidik kepada anak – anak kita. Masa iya sih, kita
mengajarkan hal – hal biasa seperti yang kita dulu kita terima. Kita dulu terbiasa
untuk menerima informasi menelannya mentah – mentah. Begitu saja
mempercayainya, tanpa pernah tertarik untuk bertanya. Sudah seyogyanya kita
berubah, membiasakan untuk menggali ilmu dibalik berbagai pengetahuan. 5W 1H
(What, Why, When, Where, Who dan How)
itu yang harus kita pelajari dan pahami. Karena anak – anak kita berhak
mendapatkan pendidikan terbaik dari ibunya. Harapan setiap ibu, anak – anak kita
nantinya lebih baik dalam segi karakter, cara berpikir dan bertindak. Sebelum mendidik anak, seorang ibu harus
mendidik dirinya sendiri. Saya terus meyakinkan diri bahwa saya bisa. Belajar tidak
ada kata terlambat bukan? Semangat put!. Mendidik ibu, mendidik satu generasi.
Good
is never enough, be different !
With Love,
Puput
Tidak ada komentar:
Posting Komentar