Sabtu, 14 November 2015

WFD dan EMS, Momok Budidaya Udang Vanname


Pesatnya budidaya udang yang menjadi tumpuan utama kehidupan lebih dari 6 juta penduduk di wilayah pesisir Indonesia berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan. Sistem intensif budidaya udang vanname membuat rentannya udang terserang penyakit akibat menurunnya daya dukung lingkungan. Tidak dapat dipungkiri  penurunan daya dukung lingkungan karena rendahnya pengelolaan kegiatan budidaya perikanan yang berasaskan aspek keberlanjutan. Seperti halnya produksi budidaya udang vanname Thailand  yang mengalami stagnasi dan cenderung turun akibat terkena efek EMS (Early Mortality Syndrom) turun dari 250,000 MT pada 2013 menjadi 220,000 MT  pada tahun 2014.  Penyakit EMS (Early Mortality Syndrom) menjadi momok bagi pembudidaya udang karena bisa menyebabkan kematian hingga 100% pada udang budidaya berusia 20-30 hari. Hasil penelitian Donald Lightner, ahli patologi udang dari University of Arizona telah mengidentifikasi patogen penyebab EMS yaitu  sebuah galur unik dari bakteri Vibrio parahaemolyticus. Hingga saat ini penanganan penyakit EMS masih dalam tahap riset lebih lanjut.
Sebelum merebaknya penyakit EMS, terlebih dulu ditemukan penyakit WFD (White Faeces Diseases) atau penyakit kotoran putih. Penyakit WFD ini menyebabkan nafsu makan udang menurun, plankton drop dan pakan banyak tersisa. Lalu terlihat kotoran putih mengambang di petakan tambak budidaya. WFD menyerang pada saat DOC (Day of Culture) 60 hari ke atas. Penyakit WFD disebabkan kurang bijaknya pelaku pembudidaya udang dalam mencapai pertumbuhan udang sesuai target sehingga pemberian pakan dilakukan berlebihan. Tentu berlebihnya pakan menyebabkan tingginya bahan organik di perairan sehingga memicu pesatnya berbagai sumber penyakit untuk tumbuh.
Seperti dikutip dari website bluppbkarawang.com pada acara workshop pengendalian budidaya udang, mulai munculnya WFD di Indonesia perlu mewaspadai merebaknya penyakit EMS walaupun kedua penyakit tersebut belum mampu dibuktikan secara nyata memiliki keterkaitan. Sidrotun Naim S. Si, M. Mar. ST, Ph D ahli penyakit udang menjelaskan bahwa serangan penyakit pada umumnya diawali dengan menurunnya kualitas lingkungan budidaya diantaranya meningkatnya konsentrasi Total Amonia Nitrogen (TAN) dan alkalinitas, tingkat kecerahan yang lebih rendah serta adanya suksesi plankton dari Cyanophyta menjadi jenis Dinoflagellate dan Ciliata/Protozoa Sedangkan secara mikrobiologi tambak yang terserang WFD memiliki jumlah vibrio koloni hijau yang lebih tinggi dibandingkan tambak normal. Penyebab WFD diduga kuat disebabkan oleh kombinasi serangan parasit Gregarin dan bakteri vibrio.  Pengendalian yang diupayakan adalah dengan aplikasi probiotik Bacillus spp., aplikasi vitamin C serta deteksi dini berdasarkan kualitas air dan mikroba
Guna mengantisipasi penyakit WFD maupun EMS adalah dengan adanya pemeriksaan secara rutin terhadap kondisi kualitas lingkungan dan kesehatan udang. Alangkah baiknya jika dalam satu kawasan budidaya udang vanname memiliki fasilitas laboratorium. Laboratorium yang terdiri dari terampilnya kompetensi sumberdaya manusia, ketersedian peralatan dan bahan uji serta standar metode uji  analisa kualitas air maupun kesehatan udangTentu saja hal ini akan memberikan alternatif penanganan berdasarkan data uji dari laboratorium. Selain itu didukung dengan komitmen pembudidaya udang yang mampu menerapkan standar Good Aquaculture Practices (GAP). Pada akhirnya tercapailah kegiatan budidaya perikanan yang berkelanjutan.







Kamis, 29 Oktober 2015

Galau untuk menikah


Saya galau.

Iya galau, karena menginjak usia menikah namun belum juga kunjung dilamar sang pujaan hati. Sementara menanti hari itu tiba, waktu tak kusiakan untuk berkarir dan mempersiapkan masa depan.

Saya berharap bisa menikah di usia muda.  Alasan saya sederhana, jika memang sudah yakin dan ada niat baik harus disegerakan. Menikah untuk menyempurnakan ibadah. Harapan saya untuk menikah muda, bukan hanya untuk kesehatan saya sendiri mengingat terbatasnya usia produktif perempuan untuk melahirkan dan mendidik putra putrinya. Memikirkan bagaimana saya kelak menjadi ibu dan seorang istri pasti sangat menyenangkan.  Selain itu menimbang masa depan, terutama tentang kehidupan berkeluarga. Jika sudah dibina dari usia muda dan produktif, tentu kita (orang tua) tidak perlu ngoyo bekerja hingga usia batas pensiun untuk menafkahi keluarga. Menikah bukan hanya mapan secara finansial, mutlak juga mapan secara psikologi. Siapkah dengan kehidupan berumah tangga yang penuh liku. Siapkah saya ?

Agaknya saya harus mulai mempersiapkan diri. Mulai berinvestasi, memupuk keterampilan berumah tangga, dan tentu menempa kesiapan psikologi. 

Menikah bukan tentang siapa yang dulu menikah, tapi yang paling lama mempertahankan kebahagiaan pernikahan itu sendiri…


Adakah saran untuk saya? 

Sabtu, 24 Oktober 2015

Bekerja adalah Ibadah


Mungkin bagi sebagian masyarakat awam menilai berkarir di bidang perikanan hanya berkutat dengan kolam, tambak bahkan mengarungi lautan untuk mendapatkan ikan. Sayangnya berkarir sebagai seorang analis maupun peneliti di bidang perikanan belum menjadi pilihan utama. Padahal tidak dapat dipungkiri kemajuan budidaya perikanan tidak mungkin bisa berkembang tanpa adanya data riset. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, riset adalah  penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta yang baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik. Nah kegiatan riset ini selalu berkaitan erat dengan dunia laboratorium. Laboratorium yang identik dengan bahan – bahan kimia, prosedur kerja yang rumit dan peralatan canggih tentu harus didukung pula sumberdaya manusia handal guna menghasilkan data riset yang ilmiah dan terpercaya. Dedikasi terhadap pekerjaan sebagai peneliti, membawa kita untuk menikmati memecahkan misteri dari sampel yang tentu menghasilkan kepuasaan tersendiri jika kita mampu memberikan hasil yang terbaik.
Seiring dengan berjalannya waktu, saya menyadari bahwa ilmu yang saya miliki haruslah terus kita kembangkan. Ilmu di bangku kuliah adalah bekal kita untuk mengarungi dunia kerja. Ilmu yang kita dapatkan bukan hanya dari membaca, tapi belajar sebanyak mungkin dari pengalaman orang lain yang kita padukan dengan pengalaman kita sendiri. Hal kecil yang saya lakukan dengan cara mencatat hal – hal baru di bidang yang saya tekuni saat. Semakin detil kita memahami apa yang kita pergunakan misalnya alat dan berbagai ilmu teori dasar didalamnya semakin baik kemampuan diri kita. Semakin kita merasa enggan untuk bertanya, menganalisa, ataupun bertindak kreatif itu sama halnya memenjarakan pikiran kita. Singkirkanlah perasaan bahwa diri kita paling pintar dan paling mampu, tapi sejauh mana kita ikhlas untuk belajar. Selain itu, ilmu semakin berkah jika kita menyampaikan kepada orang lain. Tentu kita wajib menguasai ilmu yang akan kita sampaikan, jika belum maka kita lebih baik belajar terlebih dulu, Bekerja memang menghasilkan pundi – pundi rupiah, namun seyogyanya juga menjadi ladang ibadah bagi kita.
Ilmu yang kita miliki akan semakin bijak jika ditunjang dengan attitude kerja yang baik. Selain itu, kita juga harus mampu bekerja sebagai tim serta menjunjung kesetiakawanan sebagai sesama analis/peneliti. Ketika kita mendapati kesulitan, sebisa mungkin kita diskusikan dan kerjakan bersama. Kita yang dulunya terbiasa aktif berorganisasi tentu akan terlihat lebih mencolok dalam hal kinerja dibandingkan orang yang pasif berorganisasi. Misalnya tanpa menunggu intruksi pekerjaan tentu naluri kita mampu memilah skala prioritas pekerjaan dan kemampuan menyampaikan materi tentu terlihat mumpuni. Ketenangan dan keikhlasan dalam bekerja sangat mendukung kinerja kita sebagai peneliti. Jangan biasakan untuk “grusa grusu”. Mari kita niatkan pekerjaan yang kita lakukan sebagai ibadah. Salam sukses.


Jumat, 23 Oktober 2015

Jalan Mana yang Ku Pilih?!


                                    
Setelah lulus kuliah strata satu, lantas jalan mana yang kita pilih. Studi lanjut ? Menikah ? atau bekerja?. Tentu pilihan semua ada pada diri kita. Ketika kita sudah pada dunia kerja, tentu kita harus siap pada konsekuensi yang kita jalani. Mungkin bagi sebagian orang yang mengenal saya dengan baik, pasti menyayangkan keputusan saya. Saya meyakini pilihan saya karena Allah pasti memberikan yang terbaik untuk kita. Seperti kata pepatah, “Kesempatan baik  tak pernah datang dua kali”. Seperti yang saya alami, pada awal masa training “Profesional Aquaculture Technician Development (PACT)” Batch I yang diadakan di Kantor PT. CP Prima, Tbk Sepanjang, Surabaya. Kegiatan PACT ini digulirkan mengingat urgensinya regenerasi sumberdaya manusia dalam bisnis perudangan. Kegiatan budidaya udang vanname di Indonesia yang sangat menjanjikan tentu harus didukung  sumberdaya manusia yang  handal. Masa in class training itu diikuti oleh 14 orang  dan saya menjadi satu – satunya perempuan dalam training tersebut. Memang dunia perudangan selama ini nampak didominasi oleh kaum adam. Padahal tak sedikit pula, kiprah perempuan di dalamnya. Sedikit jengah dan tidak nyaman rasanya saat saya hanya seorang diri tak ada teman perempuan untuk saling berbagi selama 2 minggu itu. Tapi dalam diri saya bertekad, saya berniat untuk belajar lebih baik menyerap ilmu dan mengaplikasikan ilmu yang saya dapatkan. Tak mengapa jika saya hanyalah minoritas. Baik secara gender dan asal kampus. Apalagi status saya sebagai mahasiswa dari universitas swasta sedangkan rekan – rekan saya notabene berasal dari universitas negeri. Hmm… bahkan sempat ditanya apa iya di Universitas Muhammadiyah Malang ada jurusan perikanan. Dengan lugas saya menjawab, iya pak ada malah usia nya sudah 17 tahun. Hal itu malah semakin melecut saya untuk membuktikan bahwa saya mampu setara dengan rekan – rekan saya.

Bersyukur saya bisa bergabung dengan PT. Central Proteina Prima, Tbk. Melalui training in class kita mendapatkan materi tentang budidaya udang vanname secara detil yaitu alur proses budidaya udang vanname sesuai SOP CP Prima dan teknik laboratorium. Kita pun tak hanya dihadapkan pada teoritis belaka, tapi berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan ikut pula dipaparkan. Pemateri pada PACT pun tak kalah mumpuni yang sangat menguasai materi baik praktikal dan teori. Semakin kita aktif ingin tahu melontarkan pertanyaan pada presentator, maka makin banyak bekal pengetahuan yang kita dapatkan. Maklumlah kita masih awam dalam dunia perudangan. Tak hanya materi in class, peserta mengunjungi salahsatu tambak pendampingan di Probolinggo untuk observasi  dan tentu kita wajib mempresentasikan hasil observasi lapangan. Itulah ajang “pembantaian” hehe. Pembantaian pertanyaan maksudnya. Sehingga kita bisa menilai sejauh mana kita memahami dan menguasai materi. Eitss selama 2 minggu kita juga menjalin keakraban satu sama lain menjadi keluarga baru. Dunia kerja tak melulu membentukm kita menjadi pekerja, tapi sejauh mana ilmu yang kita miliki dapat bermanfaat untuk diri kita dan orang lain. Selalu saya ingat pesan Bapak Subandriyo “Selalu niatkan apa yang kita lakukan sebagai ibadah, semoga menjadi pahala kebaikan untuk kita.” Tentu begitu banyak pengalaman berharga yang sudah saya dapatkan  bukan hanya bekal ilmu namun juga bekal kehidupan. Salam sukses selalu.

Jumat, 17 April 2015

Pernikahan itu Pertukaran Sumber Daya

Pernikahan merupakan perjanjian antara dua manusia yang memerlukan tanggung jawab, komitmen, dan kasih sayang.Namun dibalik itu semua, pernikahan sesungguhnya pertukaran sumberdaya antar perempuan dan lelaki. Bukan sekedar pertukaran cinta, budaya, namun terlebih pada sumberdaya yang dimiliki keduanya. Perempuan memiliki kebeliaan fisik dan menguasai keterampilan hidup (memasak, membesarkan dan mendidik anak, mengurus rumah, melayani suami dll) sedangkan lelaki memiliki kemampuan menghasilkan sumberdaya. Jika kita kembali belajar dari nenek moyang kita saat zaman purba. Begitu lumrah kita melihat film tentang manusia purba pria pergi berburu untuk makan keluarga dan manusia purba perempuan menggendong anaknya menunggu di perkampungan. Sudah banyak pergeseran kultur manusia sejak zaman modern dienyam manusia. Tidak lagi kaum pria yang mampu mencari sumberdaya (baca : nafkah) namun kini perempuan pun turut serta mengupayakan sumberdaya (baca : bekerja).
Tentu kita familiar dengan kata motivasi Pak Mario Teguh “Wanita suka laki-laki yang jelas. Jelas cintanya, lamarannya, kesejahteraannya, dan jelas tidak akan membagi cinta”. Sejatinya perempuan selalu berharap seorang lelaki itu setia kepada dirinya seorang. Fitrah seorang perempuan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang mampu mengandung dan melahirkan anak ke dunia, menuntut perempuan untuk memilih bersama lelaki yang mampu memberikan perlindungan kepada dirinya dan anaknya. Bukan hanya memberi perlindungan, tapi lebih akankah lelaki itu mau membagi sumberdaya yang dihasilkannya (baca : bekerja mencari nafkah) untuk anak istrinya dalam jangka waktu panjang. Selain itu, sebagai makhluk yang dikaruniai hati dan akal, sejatinya kita (perempuan dan lelaki) hidup untuk meraih kebahagiaan tidak hanya terpenuhi dari segi materi, namun juga terpenuhinya rohani dan batiniah.
Jangan lagi menyangkal, kaum perempuan lebih tertarik kepada pria yang jelas masa depannya. Bukan karena dia sudah memiliki harta dan ketampanan yang tak habis dimakan tujuh turunan. Namun lebih kepada usaha dia (lelaki) itu untuk memperjuangkan kehidupannya dan mengupayakan cintanya. Tengok saja realita kehidupan modern masa kini. Kaum lelaki cenderung lebih memilih menikah dengan perempuan yang dinilai memiliki standar setara atau dibawahnya. Misalnya seorang manajer pria berusia 32 tahun dengan penghasilan 8 – 10 juta per bulan menikah dengan perempuan berusia 25 tahun dengan tingkat pendidikan setara S1 namun tidak memiliki jabatan lebih tinggi dari sang pria. Tentu dari segi sang pria, sulit untuk memilih hidup bersama perempuan yang standar kehidupannya jauh diatas sang pria. Dan hal itu berlaku pula sebaliknya, bagi perempuan lebih memilih menikah dengan pria yang berada di atas standar perempuan (baca : mapan). Lagi – lagi kembali pada pertukaran sumberdaya. Semakin belia usia perempuan dari sang pria kemungkinan untuk menghasilkan keturunan dan mengabdikan hidupnya untuk keluarga juga lebih tinggi. Pria mapan lebih memiliki kepastian dan kestabilan menghasilkan sumberdaya yang jauh lebih banyak. Bukan maksud menyulut pemikiran perempuan untuk matre. Tapi lebih berpikir jauh masa depan, tentang kehidupan keturunannya dan keluarganya. Mengutip motivator Mario Teguh “Perempuan bersikap matre karena dia yang mengelola keluarga, merawat suaminya, membesarkan dan mendidik anak-anaknya, memastikan rumah nyaman dan aman bagi keluarganya, makanan mereka sehat dan enak dan itu semua membutuhkan biaya”. Pria menghasilkan sumberdaya untuk kehidupan yang baik sedangkan perempuan memiliki kemampuan untuk memberikan garis keturunan dan merawat keluarga seumur hidupnya. Toh,perempuan tidak perlu munafik, saat kita tak mengakui kita tak membutuhkan lelaki itu hanyalah sebuah penyangkalan. Tentu jauh dilubuk hati seorang perempuan baik itu single, sudah berkeluarga, maupun janda menginginkan sosok lelaki sejati dalam hidupnya. Semoga kita dipertemukan dengan sebaik – baiknya belahan jiwa.

Minggu, 05 April 2015

Wanita (harus) Materialistik !

Materialistik adalah sifat kebendaan atau keduniawian yang dimiliki oleh manusia.Sifat materialistik timbul karena desakan kebutuhan. Wanita (harus) materialistik, bukanlah sekedar ungkapan. Mungkin selama ini di masyarakat materialistik identik dengan sifat menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan. Kaum wanita memang dianugerahi sifat yang cenderung menilai segala sesuatu dengan panca indra.  Hal ini terlihat dari pusat-pusat perbelanjaan yang selalu dipadati oleh kaum hawa. Lihat saja dari segi penampilan yang modis. Walaupun hanya sekedar jalan atau memang bertujuan untuk belanja. Uang memang bukan prioritas utama tetapi uang kebutuhan yang tidak dapat dihindari.
Wanita (harus) materialistik, bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk masa depan keluarganya. Karena bukan untuk dia (wanita), terutama anak-anak. Seperti yang kita pahami, kebutuhan seperti sandang, pangan dan sekolah semakin meningkat tiap tahunnya. Jika tidak diimbangi dengan sumber pendapatan yang cukup maka tidak mungkin didapatkan semua kebutuhan dasar berkualitas. Padahal anak-anak itu menjadi masa depan bangsa kita. Sebenarnya sifat materialistik tidak bisa diukur melalui materi saja (kekayaan) tetapi bagaimana kita menyadari hati kita pun harus kaya. Kaya pemikiran dan kaya tindakan yang positif.
Kaum wanita harus menyadari perannya yang berat dalam memikul tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu. Menyeimbangkan pekerjaan domestik rumah tangga, mendidik anak, bahkan bekerja menjadi hal yang sulit tanpa mengorbankan sesuatu. Untuk itu, wanita harus menyadari zaman sekarang bukanlah sebelum era Kartini yang masih rendah emansipasi wanitanya. Wanita dituntut meningkatkan kompetensi dirinya sendiri. Jangan sampai menjadi wanita yang tak produktif. Wanita harus cerdas dan berjiwa sosial tinggi, agar mampu berinteraksi dengan masyarakat. Percuma berwajah cantik rupawan, tetapi tidak pernah nyambung jika diajak bicara. Wanita (harus) sebagai tiang negara, karena dari wanita lah, generasi penerus dilahirkan.
Tentunya kaum lelaki yang memandang sinis wanita materialistik diindikasikan tidak mampu berusaha kerja keras untuk memenuhi kebutuhan.  Padahal jelas-jelas, wanita menuntut kaum lelaki untuk bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas untuk kebaikan keluarganya. Dalam berkeluarga, keinginan setiap orangtua adalah mengetahui putra-putrinya bisa lebih baik dalam segala hal. Wanita juga jangan menjadi wanita yang bergantung pada kaum lelaki. Harus bisa mandiri, terutama mandiri dalam hal pendapatan. Sungguh indah, jika kita kaum wanita bisa mendidik anak dengan baik tanpa mengorbankan kebahagiaan keluarga tetapi juga mampu berdaya secara ekonomi. Wanita memang materialistik!


Jumat, 27 Maret 2015

MUSEUM IKHTIOLOGI INDONESIA ( Sekedar Impian ataukah Bisa menjadi Nyata?)



Oleh : Restu Putri Astuti
Ikan Coelancanth (Ikan Purba) yang dipajang di museum
            Ikhtiologi. Apa itu ikhtiologi?! Tidak banyak orang awam yang mengenal istilah perikanan yang berarti ilmu yang mempelajari tentang ikan dan segala aspek kehidupannya. Ikhtiologi merupakan bidang ilmu dasar yang harus dipahami oleh mahasiswa perikanan. Karena dengan mempelajari dan memahami ikhtiologi kita dapat mengenal distribusi ikan, morfologi dan anatomi ikan, sistem organ dan klasifikasi ikan.  Saya begitu tergugah dengan kekayaan hayati Indonesia terutama spesies ikan yang diperkirakan 8.500 jenis ikan hidup di perairan Indonesia, namun sampai saat ini Indonesia belum memiliki museum sekelas American Museum of Natural History (AMNH). Minimnya pengetahuan kekayaan sumberdaya ikan terlihat dari masih terfokusnya pemerintah pada konservasi spesies, ekosistem dan genetik. Seperti pada Museum Zoology Bogor baru memiliki koleksi 68% dari jumlah ikan air tawar dan ikan laut yang masih sangat sedikit. Selain itu, Bukankah ada Sea World di Jakarta ataupun Museum Satwa di Kota Batu?! Lantas apa bedanya. Kita sudah punya ! Menurut saya keduanya masih belum bisa disetarakan sebagai museum sekelas NNMH. Keduanya masih sama peruntukkannya, untuk wisata pendidikan. Coba saja tengok di youtube, betapa tergiurnya hasrat saya saat melongok via online seperti apa NNMH. Begitu besar peranan museum bagi kemajuan pemikiran dan pengetahuan di suatu negara. Begitu banyak ahli yang terlibat sebagai kurator dan peneliti ikan. Dan bayangkan ada + 300.000.000 koleksi ikan dari penjuru dunia memenuhi museum NNMH. Waaw,
Kita manusia Indonesia masih saja memandang, museum adalah tempatnya barang kuno bertemu, membosankan, dan tidak berdampak apapun untuk kehidupan kita. Jujur saja, mungkin tiap dari kita tidak lebih dari 5 kali dalam hidup kita mengunjungi museum. Entah karena enggan atau memang tidak ada museum yang menarik untuk kunjungi. Tren masyarakat lebih menyukai tempat yang bisa dijadikan spot untuk bergroufie dan selfie ria. Nah memang selfie dan groufie dengan ikan tidak bisa?! Hehe. Memang di beberapa universitas dengan jurusan perikanan di Indonesia memiliki berbagai koleksi jenis ikan dalam bentuk awetan. Namun tentu, itu hanya koleksi untuk kalangan sendiri.
Sayang, ditengah hiruk pikuknya manuver pembangunan, aspek pengembangan ilmu pengetahuan belum menjadi prioritas. Urgensi keberadaan Museum Ikhtiologi Indonesia (MII) adalah begitu sporadisnya kerusakan ekosistem yang mengancam keanekaragaman hayati Indonesia. Belum lagi masalah perubahan iklim dan kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada pengembangan ilmu pengetahuan lewat museum. Perlu dilakukan segera kegiatan eksplorasi dan ekspedisi tentang ikan – ikan Indonesia tidak hanya di pulau utama, tapi hingga ke pulau kecil. Belum lagi, masih terbatasnya sumberdaya manusia di bidang ikhtiologi yang selalu penemuan ikan didominasi oleh peneliti asing. Seperti Kottelat dkk (1993) yang telah mempublikasikan 75 jenis ikan baru perairan tawar khususnya Sulawesi dan Allen (1993) ikan papua. Baru – baru ini, ada seorang ahli ikhtiologi Indonesia Kadarusman,PhD yang dikenal kiprahnya karena telah menemukan ikan rainbow papua bersama tim peneliti Prancis.
Seperti halnya yang saya pikirkan, tentang keberadaan Museum Ikhtiologi Indonesia. Museum yang terdiri dari ratusan ribu koleksi ikan seluruh Indonesia, ditangani oleh peneliti ikhtiologi, dan tiap tahunnya selalu dikunjungi jutaan orang. Bukan sekedar tempat wisata biasa. Museum Ikhtiologi Indonesia (MII) diharapkan menjadi pusat pengetahuan tentang ikan dan segala aspek kehidupannya. Bukan hanya tempat awetan ikan, tapi menjadi database dan brankas DNA ikan Indonesia. Museum Ikhtiologi Indonesia menjadi tempat riset, pendidikan, dan wisata. Tentu jika Museum Ikhtiologi Indonesia ini bisa diwujudkan bisa dipastikan membuka peluang kerja baru bagi sarjana perikanan sebagai “ichthyologist” atau ahli ikhtiologi. Tidak hanya itu, tentu dengan dibukanya MII membuka lapangan pekerjaan lainnya dan menggerakkan perekonomian dari sektor wisata. MII pasti menjadi daya tarik baru bagi kerjasama riset negara lain yang lebih pioneer di bidang ikhtiologi. MII menjadi tempat transfer ilmu dan keahlian. Hmm hanya dengan membayangkan saja menyenangkan, apalagi bisa diwujudkan. Bahagianya. MII, investasi masa depan Indonesia untuk menjaga keanekaragaman hayati terutama ikan. Ketika nanti kelak anak cucu kita bertanya tentang ikan coelacanth itu seperti apa. Kita tinggal mengajak mereka mengunjungi Museum Ikhtiologi Indonesia dan menemukan berbagai koleksi ikan yang bisa kita ceritakan. Saya pun berharap dengan adanya MII kita sebagai ahli ikhtiologi maupun pemerhati perikanan dapat mempelajari berbagai perubahan (evolusi) dan distribusi ikan di masa mendatang akibat faktor alam seperti global warming. Bukankah itu penting bagi kehidupan kita manusia yang dianugerahi akal dan nurani.
            Satu hal terakhir yang perlu dipastikan, siapakah investor yang berminat mewujudkan gagasan saya? J

Selasa, 17 Maret 2015

Jelajah Pantai Tiga Warna




Oleh : Restu Putri Astuti
         
Foto  PIJA bareng komunitas BRAM di Pantai Gatra
          Kali ini saya bersama teman – teman PIJA (Perikanan Jelajah Alam) mengeksplorasi pantai di Malang Selatan. Malang Selatan memiliki banyak pantai yang patut untuk dikunjungi, selain Pantai Balekambang dan Pantai Goa Cina yang sudah lebih dulu tersohor. Jika kita berencana berlibur sambil berpetualang, Pantai Tiga Warna bisa menjadi pilihan. Mungkin teman - teman belum terlalu familiar dengan Pantai Tiga Warna. Dimanakah lokasi Pantai Tiga Warna? Apa saja yang akan kita dapat lakukan di Pantai Tiga Warna? Dan apa saja yang tidak boleh dilakukan ?
          Perjalanan ber-14 orang ini kami tempuh dengan sepeda motor tak lupa menerjang hujan selama perjalanan. Jadi lebih baik kita sedia jas hujan sebelum kehujanan. Selama perjalanan kita mengalami kendala seperti ada salah satu motor mengalami kerusakan, sehingga penting untuk traveler memeriksa kondisi kendaraan sebelum menempuh perjalanan. Persiapkan juga logistic yang memadai karena disana bukanlah pantai macam tempat rekreasi. Alami. Tidak ada toilet (hanya tersedia di pos utama) dan tentu tidak ada warung kopi. Hehe. Untuk menuju Pantai Tiga Warna, traveler menuju Sendangbiru tepatnya sebelum memasuki TPI Sendangbiru ada penunjuk jalan ke arah Pantai Clungup. Memang penanda jalan yang ada belum begitu memadai, hanya berupa plang besi kecil dan kayu yang dipilox tulisan “Pantai Clungup”. Dan penunjuk jalan tersebut membawa kami ke gang perkampungan penduduk. Awalnya saya keheranan dan bertanya kepada teman, kok kita masuk perkampungan penduduk, ya memang ini trek perjalanannya. Ternyata Pantai Tiga Warna dapat dicapai setelah kita melewati Pantai Clungup dan Pantai Gatra.
          Kalau ditanya treknya, ya amazing. Jangan bayangkan jalanan beraspal ataupun minimal jalan batu seperti ke pantai Goa Cina. Yang ada, adalah jalanan tanah yang ketika tersiram air hujan berubah menjadi tanah berlumpur. Licin dan jalanan sempit hanya muat untuk satu motor. Jadi traveler tidak bisa membawa mobil yaa. Rimbunan kebun pisang di kanan kiri jalan menemani perjalanan. Sempat terseok – seok motor kami di jalanan yang licin. Jika kita memang belum pernah melewati jalanan itu termasuk membingungkan, karena beberapa kali ada persimpangan jalan. Kira – kira 2-3 km kemudian kita baru finish di pos utama pantai Clungup. Pos pantau pantai Clungup terbuat dari bale-bale bambu. Sederhana tapi penuh makna, karena seakan ingin menyatu dengan alam. Malam itu, kami disambut sekitar 8 bapak – bapak jagawana kawasan konservasi tersebut. Yang pertama kita lakukan ya pasti membayar tiket seharga Rp 6.000/orang plus parkir motor Rp 5.000/motor. Disarankan untuk para traveler yang berencana camp, menelpon pihak Bhakti Alam yaitu Pak Saptoyo 081233339889 untuk konfirmasi dan memesan tenda camping.
          Tak perlu repot membawa tenda, karena pihak Bhakti Alam menyediakan penyewaan tenda. Cukup membayar Rp 25.000,-/ tenda (muat 5 orang) dan kita mendapatkan satu matras. Selain itu, kita juga diwajibkan membayar biaya sewa lahan Rp 25.000/tenda. Jadi total biaya Rp 50.000,-. Karena Pantai Tiga Warna termasuk dalam kawasan Bhakti Alam tidak diperbolehkan untuk mendirikan tenda menginap bagi para pengunjung. Traveler diperbolehkan camping di kawasan Pantai Clungup dan Pantai Gatra. Oh ya yang lebih penting lagi, disini traveler harus mematuhi peraturan untuk ikut menjaga kelestarian kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang. Untuk itu tiap pengunjung diwajibkan untuk melaporkan barang bawaannya. Berikut peraturan nomor 8 yang tertera di samping pos pantau “Barang yang dibawa masuk harus dibawa keluar, jika barang yang masuk tidak sesuai dengan barang yang dibawa keluar, akan dikenakan sanksi sebesar Rp 100.000/item limbah/barang yang hilang dari daftar checklist barang”. Nah karena peraturan ini tentu berdampak pada bersihnya kawasan pantai Clungup, Gatra dan Tiga Warna. Traveler yang ingin merasakan sensasi snorkeling di Malang, bisa mendapatkannya jika mengunjungi Pantai Tiga Warna. Untuk itu menuju lokasi Pantai Tiga Warna harus didampingi guide/pemandu, dengan biaya sebesar Rp 75.000/10 orang.
          Setelah memarkirkan kendaraan, lanjut perjalanan menuju Pantai Clungup dan kita memilih Pantai Gatra sebagai lokasi camp kita. Perjalanan kita pilih susur pantai yang saat itu sedang mulai pasang. Hati – hati ya karena batu karang cukup licin dan tajam, disarankan memakai  alas kaki yang nyaman dan aman seperti sandal gunung. Ternyata kawasan Pantai Gatra ada 4 kelompok besar yang telah datang terlebih dulu. Setelah memilih lokasi camp yang sesuai, kita mulai mendirikan tenda. Tenda siap, waktunya mengisi perut yang sudah keroncongan. Membakar ikan menjadi aktivitas kami selanjutnya. Terasa menyenangkan ketika kita menikmati santap malam dengan ikan bakar dan nasi telah lebih dulu kita siapkan sebelumnya. Derai tawa saling lempar gurauan menambah suasana akrab diiringi desiran ombak dan semilir angin. Istirahat malam berlanjut setelah kita sudah merasa mengantuk, siapkan stamina untuk esok pagi. Karena kita hanya menyewa dua tenda, para lelaki PIJA mempersilahkan kami kaum perempuan untuk tidur di dalam tenda dan mereka menghabiskan malam tidur beralaskan terpal. Terimakasih 

Sarapan ala PIJA
          Esok paginya, kita terbangun disuguhi pemandangan pantai berpasir putih dengan beberapa bukit kecil. Aktivitas pagi ini tentu tak  jauh dari sarapan dan persiapan menuju Pantai Tiga Warna. Sarapan kita pagi ini cukup mie instan, setangkup roti dan pisang bakar. Dinikmati bersama jauh lebih nikmat. Setelah itu, tak lupa kita ber-groufie dan ber-selfie ria. Hehe. Pukul 08.00 pagi kita sudah menelpon guide untuk diantar menuju Pantai Tiga Warna. Traveler disarankan yang ingin menuju Pantai Tiga Warna untuk mengemasi barang bawaan dan tenda karena tidak ada pihak yang bertanggung jawab jika barang hilang.


Pantai Mini Raja Ampat
Pemandangan dari Atas Bukit 

Perjalanan menuju Pantai Tiga Warna dilalui dengan jalan yang cukup terjal, karena kita “dipaksa” untuk menaiki bukit. Hehe. Ya disinilah, ke pantai sekaligus hiking. Lumayanlah treknya untuk membuat tubuh berkeringat. Siapkan fisik yaa. Selama perjalanan kita disuguhi pemandangan lautan lepas dari atas bukit. Kita akan melewati pantai Savana kemudian saat kita mendaki bukit selanjutnya kita disuguhi pemandangan  dari atas bukit di pantai Mini (salahsatu pantai yang akan kita lewati) mirip dengan Raja Ampat dan ada pantai Watu Retak yang memang bebatuannya retak dihantam gelombang. Setelah melewati ketiga pantai dan tiga bukit kita akhirnya sampai pada Pantai Tiga Warna. Alhamdulillah. Intinya jika kita menuju Pantai Tiga Warna harus melewati 6 pantai. Clungup - Gatra - Savana - Mini - Watu Retak - Tiga Warna. Menyenangkan bukan. Satu trip dapet view 6 pantai sekaligus. Hehe.
Snorkling bareng 
Pantai tiga warna menawarkan pemandangan pantai berpasir putih dengan gradasi warna air laut jernih, biru muda dan biru tua terlihat memanjakan mata. Di seberang Pantai Tiga Warna ada Pulau Sempu dan sebelah kiri nya adalah Pelabuhan Sendangbiru. Lalulalang perahu nelayan sedang beraktivitas menangkap ikan juga dapat kita lihat. Ternyata di Pantai Tiga Warna sudah terlebih dulu 3 kelompok besar menikmati keindahan pantai yang belum terlalu diekspos ini. Kita tak sabar untuk bersnorkling ria. Pemandu kami bapak Eko segera menuju tempat penyewaan alat snorkel dan life vest. Karena kita kelompok paling terakhir datang, otomatis hanya mendapatkan 4 set alat snorkel dan life vest. Traveler cukup membayar seharga Rp 15.000 untuk satu set snorkel dan life vestnya. Tanpa dikomando, teman – teman PIJA mulai berenang ke tengah. Dan benar saja, kita disuguhi pemandangan bawah laut Pantai Tiga Warna. Tak lupa kita mempersiapkan amunisi mengabadikan momen ini dengan kamera Go Pro Hero 4. Wah kami berebut bernarsis ria di tengah laut. Tak lupa juga kita berfoto dibawah air yang tengah menjadi tren masa kini. Kedalaman Pantai Tiga Warna untuk snorkling sekitar 5 – 7 meter dengan kecerahan yag optimum. Jadi memang cocok untuk snorkeling. Oh ya, disarankan untuk traveler yang memang sudah jago berenang apalagi belum untuk tetap mengenakan life vest, karena arus bawah air Pantai Tiga Warna lumayan kencang.. Jadi kita harus tetap daerah yang aman ya guys.
Free diving 
Terumbu karang di Pantai Tiga Warna
Jenis terumbu karang penghuni Pantai Tiga Warna adalah jenis hard coral warna warni. Kita juga menemui beberapa jenis ikan yang asik bermain. Sayang, menurut saya kondisi terumbu karang dalam kondisi yang kurang sehat. Jadi sebenarnya kawasan ini juga membutuhkan perhatian terutama kegiatan transplantasi terumbu karang.  Di pinggir pantai Tiga Warna memang steril dari sampah, hanya belum ada plang penanda untuk mengingatkan pengunjung selama menikmati snorkeling. Misalnya tidak menyentuh maupun menginjak terumbu karang, karena tentu saja itu akan merusak terumbu karang. Terumbu karang sangat sensitive pada gangguan dari alam dan manusia tentunya. Para traveler Pantai Tiga Warna yuk ikut menjaga terumbu karang selama kegiatan snorkeling dengan tidak menginjak dan menyentuh terumbu karang serta jangan membuang sampah ya..

Kegiatan konservasi dan pengawasan oleh Bhakti Alam Sendangbiru yang dikelola masyarakat sekitar, sudah menunjukkan keterlibatan partisipasi masyarakat agar tetap melindungi lingkungannya. Mereka sudah memiliki kelompok pengelola mangrove dan terumbu karang. Bahkan secara rutin diadakan kegiatan penanaman mangrove. Semoga tetap dipertahankan dan ditingkatkan kinerja pihak Bhakti Alam Sendangbiru. Sekian cerita jelajah Pantai Tiga Warna. Semoga bermanfaat bagi para traveler. J



Rabu, 11 Maret 2015

Sahabat


Sahabat.
Sosok sedekat keluarga yang selalu mengerti kita, layaknya cerminan diri kita. 
Merekalah yang menjadi tempat untuk mencurahkan kegundahan hati, berbagi kebahagiaan bersama, dan saling mendukung meraih cita - cita. 
Beruntunglah kita, yang memiliki sahabat seperti mereka. Yang tidak hanya ada disaat kita bahagia, namun selalu menopang kita dikala duka. Mereka seakan menjadi pihak yang paling tegas, saat mengingatkan kita. Tentu untuk kebaikan kita. Tetapi sahabat, selalu bisa menjadi saudara. Teman belum tentu sahabat, sahabat sudah pasti teman. 
Ada petuah yang menyatakan jika persahabatan itu sudah terjalin lebih dari tujuh tahun, bisa dipastikan mereka menjalin persahabatan seumur hidup. Benarkah? Biarkan waktu yang menjawab. 

Manusia, sebagai mahluk yang membutuhkan kasih sayang dalam hidup. Berkasih sayang kepada sahabat seperti saling memberikan perhatian. Perhatian tidak harus selalu dengan limpahan barang mewah, tapi ketulusan saat memberikan perhatian pasti dapat dirasakan. 
Seakan menjadi tradisi, perayaan ulang tahun selalu kita rayakan bersama. Kejutan demi kejutan ikut menyemarakkan perayaan setahun sekali itu. Terkadang dibumbui kejahilan dan tindakan menyebalkan.  Tentu setelah ini saya akan merindukan masa - masa itu. Karena sebentar lagi, kita pasti terpisahkan jarak dan waktu. Dan sejauh apapun jarak itu, doa pasti tersampaikan untuk mereka. Teringat begitu banyak kebaikan sahabat-sahabat saya selama ini. Bahu membahu mendukung penelitian satu sama lain. Bergantian menjaga di rumah sakit, saat ada yang ditimpa musibah berupa sakit. Banyak cerita yang sudah kita lalui bersama. Tangis tawa canda. Memang terkadang kita tak selamanya akur, ada satu dua kali kita alami pertengkaran bahkan menangis bersama, namun semoga itu menjadi penguat persahabatan. 




Bagaimana dengan anda?
Semoga persahabatan anda, jauh lebih berwarna dari apa yang bisa saya tulis dalam blog ini.


Menjadi Ibu

  Perempuan memiliki fitrah untuk menjadi seorang ibu, tapi saya sendiri pun menyadari bahwa saya terlahir pada generasi perempuan yang tida...