Jumat, 27 Maret 2015

MUSEUM IKHTIOLOGI INDONESIA ( Sekedar Impian ataukah Bisa menjadi Nyata?)



Oleh : Restu Putri Astuti
Ikan Coelancanth (Ikan Purba) yang dipajang di museum
            Ikhtiologi. Apa itu ikhtiologi?! Tidak banyak orang awam yang mengenal istilah perikanan yang berarti ilmu yang mempelajari tentang ikan dan segala aspek kehidupannya. Ikhtiologi merupakan bidang ilmu dasar yang harus dipahami oleh mahasiswa perikanan. Karena dengan mempelajari dan memahami ikhtiologi kita dapat mengenal distribusi ikan, morfologi dan anatomi ikan, sistem organ dan klasifikasi ikan.  Saya begitu tergugah dengan kekayaan hayati Indonesia terutama spesies ikan yang diperkirakan 8.500 jenis ikan hidup di perairan Indonesia, namun sampai saat ini Indonesia belum memiliki museum sekelas American Museum of Natural History (AMNH). Minimnya pengetahuan kekayaan sumberdaya ikan terlihat dari masih terfokusnya pemerintah pada konservasi spesies, ekosistem dan genetik. Seperti pada Museum Zoology Bogor baru memiliki koleksi 68% dari jumlah ikan air tawar dan ikan laut yang masih sangat sedikit. Selain itu, Bukankah ada Sea World di Jakarta ataupun Museum Satwa di Kota Batu?! Lantas apa bedanya. Kita sudah punya ! Menurut saya keduanya masih belum bisa disetarakan sebagai museum sekelas NNMH. Keduanya masih sama peruntukkannya, untuk wisata pendidikan. Coba saja tengok di youtube, betapa tergiurnya hasrat saya saat melongok via online seperti apa NNMH. Begitu besar peranan museum bagi kemajuan pemikiran dan pengetahuan di suatu negara. Begitu banyak ahli yang terlibat sebagai kurator dan peneliti ikan. Dan bayangkan ada + 300.000.000 koleksi ikan dari penjuru dunia memenuhi museum NNMH. Waaw,
Kita manusia Indonesia masih saja memandang, museum adalah tempatnya barang kuno bertemu, membosankan, dan tidak berdampak apapun untuk kehidupan kita. Jujur saja, mungkin tiap dari kita tidak lebih dari 5 kali dalam hidup kita mengunjungi museum. Entah karena enggan atau memang tidak ada museum yang menarik untuk kunjungi. Tren masyarakat lebih menyukai tempat yang bisa dijadikan spot untuk bergroufie dan selfie ria. Nah memang selfie dan groufie dengan ikan tidak bisa?! Hehe. Memang di beberapa universitas dengan jurusan perikanan di Indonesia memiliki berbagai koleksi jenis ikan dalam bentuk awetan. Namun tentu, itu hanya koleksi untuk kalangan sendiri.
Sayang, ditengah hiruk pikuknya manuver pembangunan, aspek pengembangan ilmu pengetahuan belum menjadi prioritas. Urgensi keberadaan Museum Ikhtiologi Indonesia (MII) adalah begitu sporadisnya kerusakan ekosistem yang mengancam keanekaragaman hayati Indonesia. Belum lagi masalah perubahan iklim dan kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada pengembangan ilmu pengetahuan lewat museum. Perlu dilakukan segera kegiatan eksplorasi dan ekspedisi tentang ikan – ikan Indonesia tidak hanya di pulau utama, tapi hingga ke pulau kecil. Belum lagi, masih terbatasnya sumberdaya manusia di bidang ikhtiologi yang selalu penemuan ikan didominasi oleh peneliti asing. Seperti Kottelat dkk (1993) yang telah mempublikasikan 75 jenis ikan baru perairan tawar khususnya Sulawesi dan Allen (1993) ikan papua. Baru – baru ini, ada seorang ahli ikhtiologi Indonesia Kadarusman,PhD yang dikenal kiprahnya karena telah menemukan ikan rainbow papua bersama tim peneliti Prancis.
Seperti halnya yang saya pikirkan, tentang keberadaan Museum Ikhtiologi Indonesia. Museum yang terdiri dari ratusan ribu koleksi ikan seluruh Indonesia, ditangani oleh peneliti ikhtiologi, dan tiap tahunnya selalu dikunjungi jutaan orang. Bukan sekedar tempat wisata biasa. Museum Ikhtiologi Indonesia (MII) diharapkan menjadi pusat pengetahuan tentang ikan dan segala aspek kehidupannya. Bukan hanya tempat awetan ikan, tapi menjadi database dan brankas DNA ikan Indonesia. Museum Ikhtiologi Indonesia menjadi tempat riset, pendidikan, dan wisata. Tentu jika Museum Ikhtiologi Indonesia ini bisa diwujudkan bisa dipastikan membuka peluang kerja baru bagi sarjana perikanan sebagai “ichthyologist” atau ahli ikhtiologi. Tidak hanya itu, tentu dengan dibukanya MII membuka lapangan pekerjaan lainnya dan menggerakkan perekonomian dari sektor wisata. MII pasti menjadi daya tarik baru bagi kerjasama riset negara lain yang lebih pioneer di bidang ikhtiologi. MII menjadi tempat transfer ilmu dan keahlian. Hmm hanya dengan membayangkan saja menyenangkan, apalagi bisa diwujudkan. Bahagianya. MII, investasi masa depan Indonesia untuk menjaga keanekaragaman hayati terutama ikan. Ketika nanti kelak anak cucu kita bertanya tentang ikan coelacanth itu seperti apa. Kita tinggal mengajak mereka mengunjungi Museum Ikhtiologi Indonesia dan menemukan berbagai koleksi ikan yang bisa kita ceritakan. Saya pun berharap dengan adanya MII kita sebagai ahli ikhtiologi maupun pemerhati perikanan dapat mempelajari berbagai perubahan (evolusi) dan distribusi ikan di masa mendatang akibat faktor alam seperti global warming. Bukankah itu penting bagi kehidupan kita manusia yang dianugerahi akal dan nurani.
            Satu hal terakhir yang perlu dipastikan, siapakah investor yang berminat mewujudkan gagasan saya? J

Selasa, 17 Maret 2015

Jelajah Pantai Tiga Warna




Oleh : Restu Putri Astuti
         
Foto  PIJA bareng komunitas BRAM di Pantai Gatra
          Kali ini saya bersama teman – teman PIJA (Perikanan Jelajah Alam) mengeksplorasi pantai di Malang Selatan. Malang Selatan memiliki banyak pantai yang patut untuk dikunjungi, selain Pantai Balekambang dan Pantai Goa Cina yang sudah lebih dulu tersohor. Jika kita berencana berlibur sambil berpetualang, Pantai Tiga Warna bisa menjadi pilihan. Mungkin teman - teman belum terlalu familiar dengan Pantai Tiga Warna. Dimanakah lokasi Pantai Tiga Warna? Apa saja yang akan kita dapat lakukan di Pantai Tiga Warna? Dan apa saja yang tidak boleh dilakukan ?
          Perjalanan ber-14 orang ini kami tempuh dengan sepeda motor tak lupa menerjang hujan selama perjalanan. Jadi lebih baik kita sedia jas hujan sebelum kehujanan. Selama perjalanan kita mengalami kendala seperti ada salah satu motor mengalami kerusakan, sehingga penting untuk traveler memeriksa kondisi kendaraan sebelum menempuh perjalanan. Persiapkan juga logistic yang memadai karena disana bukanlah pantai macam tempat rekreasi. Alami. Tidak ada toilet (hanya tersedia di pos utama) dan tentu tidak ada warung kopi. Hehe. Untuk menuju Pantai Tiga Warna, traveler menuju Sendangbiru tepatnya sebelum memasuki TPI Sendangbiru ada penunjuk jalan ke arah Pantai Clungup. Memang penanda jalan yang ada belum begitu memadai, hanya berupa plang besi kecil dan kayu yang dipilox tulisan “Pantai Clungup”. Dan penunjuk jalan tersebut membawa kami ke gang perkampungan penduduk. Awalnya saya keheranan dan bertanya kepada teman, kok kita masuk perkampungan penduduk, ya memang ini trek perjalanannya. Ternyata Pantai Tiga Warna dapat dicapai setelah kita melewati Pantai Clungup dan Pantai Gatra.
          Kalau ditanya treknya, ya amazing. Jangan bayangkan jalanan beraspal ataupun minimal jalan batu seperti ke pantai Goa Cina. Yang ada, adalah jalanan tanah yang ketika tersiram air hujan berubah menjadi tanah berlumpur. Licin dan jalanan sempit hanya muat untuk satu motor. Jadi traveler tidak bisa membawa mobil yaa. Rimbunan kebun pisang di kanan kiri jalan menemani perjalanan. Sempat terseok – seok motor kami di jalanan yang licin. Jika kita memang belum pernah melewati jalanan itu termasuk membingungkan, karena beberapa kali ada persimpangan jalan. Kira – kira 2-3 km kemudian kita baru finish di pos utama pantai Clungup. Pos pantau pantai Clungup terbuat dari bale-bale bambu. Sederhana tapi penuh makna, karena seakan ingin menyatu dengan alam. Malam itu, kami disambut sekitar 8 bapak – bapak jagawana kawasan konservasi tersebut. Yang pertama kita lakukan ya pasti membayar tiket seharga Rp 6.000/orang plus parkir motor Rp 5.000/motor. Disarankan untuk para traveler yang berencana camp, menelpon pihak Bhakti Alam yaitu Pak Saptoyo 081233339889 untuk konfirmasi dan memesan tenda camping.
          Tak perlu repot membawa tenda, karena pihak Bhakti Alam menyediakan penyewaan tenda. Cukup membayar Rp 25.000,-/ tenda (muat 5 orang) dan kita mendapatkan satu matras. Selain itu, kita juga diwajibkan membayar biaya sewa lahan Rp 25.000/tenda. Jadi total biaya Rp 50.000,-. Karena Pantai Tiga Warna termasuk dalam kawasan Bhakti Alam tidak diperbolehkan untuk mendirikan tenda menginap bagi para pengunjung. Traveler diperbolehkan camping di kawasan Pantai Clungup dan Pantai Gatra. Oh ya yang lebih penting lagi, disini traveler harus mematuhi peraturan untuk ikut menjaga kelestarian kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang. Untuk itu tiap pengunjung diwajibkan untuk melaporkan barang bawaannya. Berikut peraturan nomor 8 yang tertera di samping pos pantau “Barang yang dibawa masuk harus dibawa keluar, jika barang yang masuk tidak sesuai dengan barang yang dibawa keluar, akan dikenakan sanksi sebesar Rp 100.000/item limbah/barang yang hilang dari daftar checklist barang”. Nah karena peraturan ini tentu berdampak pada bersihnya kawasan pantai Clungup, Gatra dan Tiga Warna. Traveler yang ingin merasakan sensasi snorkeling di Malang, bisa mendapatkannya jika mengunjungi Pantai Tiga Warna. Untuk itu menuju lokasi Pantai Tiga Warna harus didampingi guide/pemandu, dengan biaya sebesar Rp 75.000/10 orang.
          Setelah memarkirkan kendaraan, lanjut perjalanan menuju Pantai Clungup dan kita memilih Pantai Gatra sebagai lokasi camp kita. Perjalanan kita pilih susur pantai yang saat itu sedang mulai pasang. Hati – hati ya karena batu karang cukup licin dan tajam, disarankan memakai  alas kaki yang nyaman dan aman seperti sandal gunung. Ternyata kawasan Pantai Gatra ada 4 kelompok besar yang telah datang terlebih dulu. Setelah memilih lokasi camp yang sesuai, kita mulai mendirikan tenda. Tenda siap, waktunya mengisi perut yang sudah keroncongan. Membakar ikan menjadi aktivitas kami selanjutnya. Terasa menyenangkan ketika kita menikmati santap malam dengan ikan bakar dan nasi telah lebih dulu kita siapkan sebelumnya. Derai tawa saling lempar gurauan menambah suasana akrab diiringi desiran ombak dan semilir angin. Istirahat malam berlanjut setelah kita sudah merasa mengantuk, siapkan stamina untuk esok pagi. Karena kita hanya menyewa dua tenda, para lelaki PIJA mempersilahkan kami kaum perempuan untuk tidur di dalam tenda dan mereka menghabiskan malam tidur beralaskan terpal. Terimakasih 

Sarapan ala PIJA
          Esok paginya, kita terbangun disuguhi pemandangan pantai berpasir putih dengan beberapa bukit kecil. Aktivitas pagi ini tentu tak  jauh dari sarapan dan persiapan menuju Pantai Tiga Warna. Sarapan kita pagi ini cukup mie instan, setangkup roti dan pisang bakar. Dinikmati bersama jauh lebih nikmat. Setelah itu, tak lupa kita ber-groufie dan ber-selfie ria. Hehe. Pukul 08.00 pagi kita sudah menelpon guide untuk diantar menuju Pantai Tiga Warna. Traveler disarankan yang ingin menuju Pantai Tiga Warna untuk mengemasi barang bawaan dan tenda karena tidak ada pihak yang bertanggung jawab jika barang hilang.


Pantai Mini Raja Ampat
Pemandangan dari Atas Bukit 

Perjalanan menuju Pantai Tiga Warna dilalui dengan jalan yang cukup terjal, karena kita “dipaksa” untuk menaiki bukit. Hehe. Ya disinilah, ke pantai sekaligus hiking. Lumayanlah treknya untuk membuat tubuh berkeringat. Siapkan fisik yaa. Selama perjalanan kita disuguhi pemandangan lautan lepas dari atas bukit. Kita akan melewati pantai Savana kemudian saat kita mendaki bukit selanjutnya kita disuguhi pemandangan  dari atas bukit di pantai Mini (salahsatu pantai yang akan kita lewati) mirip dengan Raja Ampat dan ada pantai Watu Retak yang memang bebatuannya retak dihantam gelombang. Setelah melewati ketiga pantai dan tiga bukit kita akhirnya sampai pada Pantai Tiga Warna. Alhamdulillah. Intinya jika kita menuju Pantai Tiga Warna harus melewati 6 pantai. Clungup - Gatra - Savana - Mini - Watu Retak - Tiga Warna. Menyenangkan bukan. Satu trip dapet view 6 pantai sekaligus. Hehe.
Snorkling bareng 
Pantai tiga warna menawarkan pemandangan pantai berpasir putih dengan gradasi warna air laut jernih, biru muda dan biru tua terlihat memanjakan mata. Di seberang Pantai Tiga Warna ada Pulau Sempu dan sebelah kiri nya adalah Pelabuhan Sendangbiru. Lalulalang perahu nelayan sedang beraktivitas menangkap ikan juga dapat kita lihat. Ternyata di Pantai Tiga Warna sudah terlebih dulu 3 kelompok besar menikmati keindahan pantai yang belum terlalu diekspos ini. Kita tak sabar untuk bersnorkling ria. Pemandu kami bapak Eko segera menuju tempat penyewaan alat snorkel dan life vest. Karena kita kelompok paling terakhir datang, otomatis hanya mendapatkan 4 set alat snorkel dan life vest. Traveler cukup membayar seharga Rp 15.000 untuk satu set snorkel dan life vestnya. Tanpa dikomando, teman – teman PIJA mulai berenang ke tengah. Dan benar saja, kita disuguhi pemandangan bawah laut Pantai Tiga Warna. Tak lupa kita mempersiapkan amunisi mengabadikan momen ini dengan kamera Go Pro Hero 4. Wah kami berebut bernarsis ria di tengah laut. Tak lupa juga kita berfoto dibawah air yang tengah menjadi tren masa kini. Kedalaman Pantai Tiga Warna untuk snorkling sekitar 5 – 7 meter dengan kecerahan yag optimum. Jadi memang cocok untuk snorkeling. Oh ya, disarankan untuk traveler yang memang sudah jago berenang apalagi belum untuk tetap mengenakan life vest, karena arus bawah air Pantai Tiga Warna lumayan kencang.. Jadi kita harus tetap daerah yang aman ya guys.
Free diving 
Terumbu karang di Pantai Tiga Warna
Jenis terumbu karang penghuni Pantai Tiga Warna adalah jenis hard coral warna warni. Kita juga menemui beberapa jenis ikan yang asik bermain. Sayang, menurut saya kondisi terumbu karang dalam kondisi yang kurang sehat. Jadi sebenarnya kawasan ini juga membutuhkan perhatian terutama kegiatan transplantasi terumbu karang.  Di pinggir pantai Tiga Warna memang steril dari sampah, hanya belum ada plang penanda untuk mengingatkan pengunjung selama menikmati snorkeling. Misalnya tidak menyentuh maupun menginjak terumbu karang, karena tentu saja itu akan merusak terumbu karang. Terumbu karang sangat sensitive pada gangguan dari alam dan manusia tentunya. Para traveler Pantai Tiga Warna yuk ikut menjaga terumbu karang selama kegiatan snorkeling dengan tidak menginjak dan menyentuh terumbu karang serta jangan membuang sampah ya..

Kegiatan konservasi dan pengawasan oleh Bhakti Alam Sendangbiru yang dikelola masyarakat sekitar, sudah menunjukkan keterlibatan partisipasi masyarakat agar tetap melindungi lingkungannya. Mereka sudah memiliki kelompok pengelola mangrove dan terumbu karang. Bahkan secara rutin diadakan kegiatan penanaman mangrove. Semoga tetap dipertahankan dan ditingkatkan kinerja pihak Bhakti Alam Sendangbiru. Sekian cerita jelajah Pantai Tiga Warna. Semoga bermanfaat bagi para traveler. J



Rabu, 11 Maret 2015

Sahabat


Sahabat.
Sosok sedekat keluarga yang selalu mengerti kita, layaknya cerminan diri kita. 
Merekalah yang menjadi tempat untuk mencurahkan kegundahan hati, berbagi kebahagiaan bersama, dan saling mendukung meraih cita - cita. 
Beruntunglah kita, yang memiliki sahabat seperti mereka. Yang tidak hanya ada disaat kita bahagia, namun selalu menopang kita dikala duka. Mereka seakan menjadi pihak yang paling tegas, saat mengingatkan kita. Tentu untuk kebaikan kita. Tetapi sahabat, selalu bisa menjadi saudara. Teman belum tentu sahabat, sahabat sudah pasti teman. 
Ada petuah yang menyatakan jika persahabatan itu sudah terjalin lebih dari tujuh tahun, bisa dipastikan mereka menjalin persahabatan seumur hidup. Benarkah? Biarkan waktu yang menjawab. 

Manusia, sebagai mahluk yang membutuhkan kasih sayang dalam hidup. Berkasih sayang kepada sahabat seperti saling memberikan perhatian. Perhatian tidak harus selalu dengan limpahan barang mewah, tapi ketulusan saat memberikan perhatian pasti dapat dirasakan. 
Seakan menjadi tradisi, perayaan ulang tahun selalu kita rayakan bersama. Kejutan demi kejutan ikut menyemarakkan perayaan setahun sekali itu. Terkadang dibumbui kejahilan dan tindakan menyebalkan.  Tentu setelah ini saya akan merindukan masa - masa itu. Karena sebentar lagi, kita pasti terpisahkan jarak dan waktu. Dan sejauh apapun jarak itu, doa pasti tersampaikan untuk mereka. Teringat begitu banyak kebaikan sahabat-sahabat saya selama ini. Bahu membahu mendukung penelitian satu sama lain. Bergantian menjaga di rumah sakit, saat ada yang ditimpa musibah berupa sakit. Banyak cerita yang sudah kita lalui bersama. Tangis tawa canda. Memang terkadang kita tak selamanya akur, ada satu dua kali kita alami pertengkaran bahkan menangis bersama, namun semoga itu menjadi penguat persahabatan. 




Bagaimana dengan anda?
Semoga persahabatan anda, jauh lebih berwarna dari apa yang bisa saya tulis dalam blog ini.


Senin, 09 Maret 2015

10 Pedoman Hidup Sunan Kalijaga




Bercerita tentang Sunan Kalijaga, mengingatkan kembali memori masa kecil saat wisata wali songo. Sunan Kalijaga dikenal sebagai anak dari Arya Wilatikta, Adipati Tuban penganut Muslim yang dikenal kejam dan tetap memegang teguh  pada pemerintahan Majapahit sebagai penganut agama Hindu. Arya Wilatikta menetapkan pajak tinggi kepada rakyat. Sunan Kalijaga muda, kala itu bernama Joko Said menolak tegas kebijakan ayahnya yang dinilai tidak memihak pada rakyat. Puncaknya ketika, Joko Said membagikan beras dari lumbung padi kerajaan kepada rakyat Tuban yang menderita kelaparan dan kemiskinan. Tentu sang raja Arya Wilatikta, marah besar dan mengusir Joko Said dari istana kadipaten Tuban. Sang ayah mensyaratkan kepada Joko Said bahwa ia diperbolehkan pulang jika mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacan ayat - ayat suci Al Qur'an. Maksud dari "menggetarkan seisi Tuban" yaitu apabila dia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya. Joko Said sempat menjadi sosok "Robin Hood" ala Jawa, dengan menjadi perampok kaum kaya yang tidak mengeluarkan zakat dan sedekah. Hasil kejahatannya tersebut dibagikan kepada kaum papa yang membutuhkan.
 
Perjalanan hidup yang kelam Joko Said tersebut berakhir saat  bertobat dan berguru pada Sunan Bonang. Yang menyadarkan dia bahwa sesungguhnya sebuah kebaikan tidak bisa diawali dengan kejahatan. Ibarat kata sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil.
Selain itu, Sunan Kalijaga adalah sosok simbol sufistik jawa karena di dalam penyampaian ajaran ajarannya beliau selalu bisa menempatkan diantara budaya ataupun adat adat jawa yang saat itu sangat kental di kalangan masyarakat jawa sendiri.sehingga masyarakat dengan mudah menerima ajarannya. Walaupun ketika itu masyarakat masih sangat awam dengan ajaran islam.
Berikut 10 pedoman hidup Karya Kanjeng Sunan Kalijaga;
  1. Urip Iku Urup
    (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik)
  2. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro
    (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
  3. Suro Diro Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
    (segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dgn sikap bijak, lembut hati dan sabar)
  4. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho
    (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; Kaya tanpa didasari kebendaan)
  5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
    (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
  6. Ojo Gumunan, Ojo Getunan, ojo Kagetan, ojo Aleman
    (Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).
  7. Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
    (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
  8. Ojo Kuminter Mundak Keblinger, ojo Cidra Mundak Cilaka
    (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).
  9. Ojo Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
    (Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).
  10. Ojo Adigang, Adigung, Adiguno
    (Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).
Dari kesepuluh pedoman hidup Sunan Kalijaga tersebut memang masih sangat selaras jika kita pergunakan dalam kehidupan sehari - hari. Tak juga tabu, jika kita bukan orang Jawa mengadopsi pedoman hidup Sunan Kalijaga.
(Diolah dari berbagai Sumber)

Minggu, 08 Maret 2015

Hidup itu Pilihan

Hidup itu pilihan. Kalimat yang singkat, namun sesungguhnya tak pernah sesederhana itu.
Hidup selalu membawa kita pada tiap pilihan. Pilihan yang tentu membawa kita pada nasib yang berbeda. Tentu kita menyadari konsekuensi tiap pilihan itu. Baik buruknya, kita sendiri yang menjalani dan merasakan. Kebanyakan orang terlalu sibuk “kepo” pada kehidupan orang lain yang dianggapnya lebih baik. Seperti ungkapan “rumput tetangga selalu nampak lebih hijau”. Kekepoan pada orang lain itu baik jika kita termotivasi untuk berusaha menjadi setara ataupun lebih baik dari dia. Tapi ingat, tetaplah kita sendiri yang memutuskan, apakah itu sesuai atau tidak. Tanpa kita sadari,  sekali waktu kita terlalu larut pada pemikiran orang lain terhadap kita, yang justru jika tidak kita tangani dengan baik bakal menjadi “pedang” yang siap menghunus diri sendiri. Be yourself, believe in you !
Bukankah kita tidak memiliki kewajiban untuk selalu menyenangkan hati banyak orang, cukup menjadi diri sendiri dan tetap bermanfaat untuk orang lain. Bergembiralah, kita yang mensyukuri kehidupan yang diberikan Tuhan. Hidup sudah rumit, janganlah lagi kita buat sulit. Sama halnya, saat kita merasakan ketidakberdayaan, kita pun dihadapkan pada pilihan. Menyerah atau bertahan? Saat kita menyerah, tentu disaat itu kita belum merasakan sesungguhnya perjuangan hidup. Saat kita memilih terus bertahan, berjuang itulah inti dari kehidupan.
Pilihan, baik atau buruk. Putuskan. Lanjutkan hidup. Life must go on. Yakini itu pilihan yang terbaik untuk kita, seraya terus berdoa diberikan jalan yang terbaik menurut versiNya. Kita manusia tak pernah bisa mereka-reka seperti apa kehidupan kita di masa mendatang. Yang harus kita pahami, upayakanlah yang terbaik saat ini dan yang terbaik pasti datang untuk kita.

Sabtu, 07 Maret 2015

Tentang Kita


Malam minggu ke-116, kita warnai lagi dengan pelangi dengan cara kita sendiri. Tidak seperti pasangan normal lainnya, yang melewatkan kebersamaan dengan aktivitas menyenangkan seperti menonton film, hangout bareng di cafĂ© bersama teman2, ataupun bertandang ke rumah “camer”. Kita berdua bahagia dengan sapaan ceria di ujung telepon, sesekali bertatap muka lewat skype, dan tak perlu menunggu malam minggu. Setiap pagi kita memiliki rutinitas wajib untuk saling menyapa. Seperti lagu Ran “Dekat di Hati” “Dering teleponku, membuatku tersenyum di pagi hari”, berbincang panjang lebar hingga membuat kita berdua kerap terlambat beraktivitas. Apalagi masalah debat politik, pasti nggak ada yang mau kalah. Kalo udah cerita masak apa hari ini. Tukeran foto via bbm, dan masakan dia lebih enak (keliatannya dan katanya), aku merasa sedih karena belum jago masak kayak dia (pengennya dimasakin sih, ehehe). Ayo semangat belajar memasak. Dan karena kita cinta Indonesia, otomatis bahasa percakapannya Bahasa Indonesia. Nggak mungkin dong, aku ngomong bahasa Jawa, terus dia bahasa Makassar. Ya sementara kita masih mencicil kosakata dari masing2 bahasa Jawa dan Makassar. Seringnya mah dia ungkit ungkit dialek Jawa dan aku membalasnya dengan “ongkots”nya itu. Hahaha. Paling asik kalo udah diskusi masalah kultur budaya Jawa dan Makassar.  Membuka wawasan deh jadinya. Komunikasi menjadi faktor penting dalam tiap hubungan. Bukan hanya kita antar sesama manusia, tapi kepada Tuhan bahkan semesta.
Kita bukan pasangan romantis. Kamu sepertiku, yang suka membaca buku, berdiskusi, bercerita dan  aku yang paling cerewet. Romantisnya kita, selalu ada untuk mendukung dan mengingatkan satu sama lain. Terkadang juga bertengkar, tapi tak lama kita berbaikan lagi. Selanjutnya, romantis menurutku, saat mendengarmu setiap malam (ditelepon) jatuh tertidur, akibat “kecerewetanku” dalam bercerita ini itu. Kerap kali, kamu memintaku untuk mendongeng yang nyaris tak pernah selesai akibat kamu tertidur lagi, bahkan membawakan nyanyian pengantar tidur semacam ninabobo selalu dengan manis diakhiri dengan dengkuran halusmu itu. Aaa, begitulah kita.
Jarak, waktu. Itu bukan menjadi alasan untuk kita tidak bersama. Malang – Makassar setahun yang lalu, dengan perbedaan waktu 1 jam. Aku WIB dan kamu WITA. Sekarang  di tahun kedua lebih LDRnya lebih ajaib lagi, Malang – Jambi. Kita, WIB. Yeay. Ya jarak dan waktu selama ini menjadi penghalang kita. Suka duka, telah banyak kita lewati selama ini. Berat lho LDR itu. Karena kita diuji, saat kita tak bersama. Akankah kita tetap memenuhi komitmen yang sudah kita jalani? Tetapi terkadang aku merasa, kita bisa fokus untuk meraih apa yang ingin kita raih. Masalah?! Ya banyak, galau juga pasti. Membicarakan baik-baik permasalahan, menemukan solusi dan saling mengevaluasi diri. Keyakinan kita berdua yang selalu membawa kembali. Kedekatan secara fisik selayaknya pasangan normal lainnya, agaknya masih sulit dipenuhi dalam waktu dekat ini. Kita seakan harus terbiasa tak melihat, tapi merasakan kehadiran kita melalui dukungan dan doa. Karena sejauh apapun jarak dan waktu, doa pasti akan sampai.
Meski kau kini jauh disana, kita memandang langit sama.
Jauh di mata, namun kau dekat di hati.
Jarak dan waktu takkan berarti.
Bagai detak jantung yang kubawa kemanapun ku pergi.

Jika sekarang kita belum bisa bersama, semoga hati dan pemikiran kita selalu selaras. Percayalah, apa yang kita lakukan saat ini, bukan pengorbanan, tapi memperjuangkan masa depan. Kita bersama merajut asa untuk masa depan. Masa depanku, dan kamu. Masa depan kita.

Menjadi Ibu

  Perempuan memiliki fitrah untuk menjadi seorang ibu, tapi saya sendiri pun menyadari bahwa saya terlahir pada generasi perempuan yang tida...