Rabu, 17 Januari 2018

Ceritaku tentang Hidup Merantau



Matahari terlihat dari pesawat (Dokumen Pribadi)

Ketika kita sudah memutuskan untuk hidup merantau, tentu saja yang paling kita rindukan adalah tanah kelahiran kita. Rumah dan keluarga menjadi alasan untuk kita selalu merindu. Merindu ingin pulang di tengah hangatnya suasana rumah dan kasih sayang keluarga. Hidup merantau memang pilihan hidup tiap orang. Sama halnya orang yang memutuskan untuk hidup di tanah kelahirannya.  Alasan untuk hidup merantau bagi tiap orang juga beragam. Hidup merantau demi memenuhi  kebutuhan hidup, menuntut ilmu, berkeluarga dan lain sebagainya. Hidup di perantauan sangatlah berbeda dengan "zona nyaman" yang dapat kita nikmati dengan mudahnya. Sebagai individu manusia yang notabene makhluk sosial, perantau dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Jika tidak, sungguh akan sangat sulit untuk mengembangkan kehidupan di perantauan. 

Sama halnya dengan keadaan yang saya alami saat ini. Hidup di perantauan karena alasan berkeluarga. Keputusan saya untuk menikah dengan laki - laki yang saya cintai yang berasal dari Makassar berimbas pada lompatan kehidupan saya selanjutnya, yaitu merantau. Merantau sebenarnya bukan hal asing bagi saya, semenjak lulus SMK saya pernah bekerja di Jakarta dan Surabaya. Seakan  hidup merantau bukan hal asing bagi saya. Mungkin bagi sebagian orang mengganggap untuk apa pergi jauh dari tanah kelahiran untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Bukannya di kota sendiripun bisa saja kita peroleh. Berikut sedikit cerita tentang hidup merantau saya....

Hidup merantau pasca lulus sekolah

Saya menulis ini sambil mengingat memori sewaktu hidup merantau di Jakarta. Baru saja saya melepas status seragam putih abu - abu dan masih berusia belia tidak menyurutkan niat saya untuk bekerja di Jakarta setelah dinyatakan lolos tes kerja di sebuah perusahaan percetakan. Memang awalnya berat untuk kedua orang tua saya mengizinkan anak gadisnya bekerja di Jakarta. Tapi semua mampu saya petik hikmahnya. Bagaimana di usia belia  saya memiliki keinginan kuat untuk merasakan bekerja. Jakarta, kota yang kerap kali saya datangi ketika liburan sekolah dan sekarang saya datang untuk bekerja. Hidup di perantauan ketika itu membuat saya melek. Ternyata kehidupan di Jakarta sudah sangat berkembang dengan pesatnya. Menuntut manusia di dalamnya hidup dengan penuh perjuangan. Saya belajar hidup mandiri, ya mandiri. Dulunya untuk masalah makanan pasti sudah tersedia di meja makan rumah, sekarang waktunya beli makanan di warteg dan sengaja masak nasi di kos supaya hemat. Waktu itu saya sewa kos bersama dengan dua orang teman sekolah saya, ingat sekali bagaimana rasanya kita tiap makan pagi dan malam kerap kali sepiring bertiga (makan siang di kantin kantor), saling berbagi kamar mandi dan tidur berhimpitan di satu kasur. Hehe. Menuju ke kantor, tidak ada motor ataupun angkutan antar jemput yaa jalan kaki setidaknya butuh waktu 20 menit dari kos ke kantor. Dari yang berangkat wangi, nyampe kantor kaki udah capek dan berkeringat. Hahaha. Masalah kerjaan di kantor yang masih sangat awam untuk kami yang baru lulus sekolah juga menjadi makanan sehari - hari. Bagi saya masalah pekerjaan masih bisa diatasi dengan kemauan untuk belajar tapi yang paling saya rasakan saat itu adalah ternyata dunia kerja itu keras. Saling sikut-sikutan. Bukan tentang fisik ya, tapi kompetisi antar individu di pekerjaan untuk mengejar prestasi. Waow banget deh bagi saya yang masih anak bau kencur. Hahaha. 

Jadi bisa saya simpulkan pengalaman hidup merantau saya sewaktu lulus sekolah dulu lebih kepada menuntut diri untuk hidup mandiri, memacu kemampuan hardskill dan softskill serta belajar memahami karakter orang lain. 

Hidup merantau pasca lulus kuliah

Bekerja pasca lulus kuliah tentu tingkat psikologis lebih matang dan kemampuan saya sudah cukup baik dibandingkan semasa lulus sekolah. Kehidupan perantauan saya di Kab. Probolinggo lebih bersahabat dibandingkan saat di Jakarta. Menjalani rutinitas pekerjaan yang terkadang bagi saya agak membosankan. Untuk mengatasi kebosanan itu, alhamdulillah lingkungan kerja saya memberikan kesempatan untuk terus menggali kemampuan diri. Seperti rutin menyampaikan materi pekerjaan kepada peserta training, berkesempatan mengikuti pelatihan, dan diskusi ilmiah. Tidak perlu munafik ketika kita bekerja tentu kita berharap mendapatkan keuntungan seperti salary, fasilitas, dan yang paling penting menurut saya adalah kenyamanan dalam bekerja.  Kenyamanan dalam bekerja tidak hanya tentang pekerjaan yang kita nikmati tapi juga rekan - rekan kerja yang membuat kita betah dan malah menjadikan pribadi menjadi lebih baik. Ketika kita nyaman dan menikmati pekerjaan insya allah hasil yang kita dapatkan akan sebanding malah di luar ekspektasi. 


Hidup merantau pasca menikah
Ketika memutuskan untuk menikah saya tentu memahami konsekuensi selanjutnya yaitu hidup merantau bersama suami. Karena akan sangat sulit bagi kami ketika sudah berumah tangga, harus hidup terpisah. Saya bekerja di Jawa, sedangkan suami di Sulawesi. Wah tentu itu BIG NO buat kami. Memang berat memutuskan untuk resign dari pekerjaan yang saya sukai, tapi hidup berumah tangga juga menjadi ladang ibadah untuk kami. Kendala yang saya hadapi hidup di perantauan yang beda dengan hidup di Pulau Jawa yang paling mencolok adalah penggunaan bahasa daerah Makassar. Jujur saja,  saya belum menguasai bahasa Makassar yang menjadi bahasa sehari - hari. Walaupun Bahasa Indonesia tetap dipergunakan dalam keluarga dan lingkungan tapi pasti lebih baik lagi jika saya bisa belajar bahasa Makassar bukan. Ya itulah PR terbesar untuk saya hehehe. Untuk masalah kultur budaya tentu juga berbeda dengan di Jawa. Namun saya menganut dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Otomatis saya menyesuaikan dengan kultur yang ada di Makassar. Bagi saya itu tidak masalah, malah kesempatan baik untuk saya belajar kultur yang berbeda dengan Jawa. Hmmm... hidup merantau jauh dari Pulau Jawa membuat saya juga selalu merindukan masakan khas Jawa. Ya kadang rindu sedikut terobati dengan mencoba memasak sesuai kemampuan saya. Hehe. Kalau ada bahan yang sulit ditemukan tentu saja tinggal minta tolong kirimkan ibu saya hehehe. Bahkan cuma liat foto masakannya aja, hati bisa sedikit terhibur. hahaha. Yaa begitulah suka dukanya merantau yaa. 

Kalau rindu dengan keluarga dan sahabat - sahabat saya, tentu saja obrolan lewat sambungan telepon, chat, video call itu menjadi rutinitas yang bisa saya lakukan. Di perantauan sebisa mungkin mengupayakan untuk berinteraksi dengan orang - orang di lingkungan. Jangan sampai menutup diri. Mulailah dengan seulas senyum dan sapa ramah ketika bertemu bisa berlanjut pada obrolan. Karena fitrah manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup sendiri bukan. 

Baiklah, sepertinya sudah terlampau panjang cerita saya kali ini. 
Gimana hidup perantauan kalian? Boleh berbagi dengan saya. 
Sharing is caring.


With love,
Puput 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Ibu

  Perempuan memiliki fitrah untuk menjadi seorang ibu, tapi saya sendiri pun menyadari bahwa saya terlahir pada generasi perempuan yang tida...