Senin, 05 Januari 2015

Ikan, Nelayan dan Ketahanan Pangan RI




Pangan merupakan kebutuhan dan hak dasar yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Pangan meliputi komoditas tanaman, peternakan, dan perikanan yaitu segala sesuatu yang berasal dari sumberdaya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Menurut UU No.7 Tahun 1996, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sudahkah Indonesia sebagai negara agraris dan bahari berdaulat pangan? Belum!

Menurut Peneliti AS pada tahun 2100, dunia akan memasuki krisis pangan (Nasoetion, 2008). Prediksi ini bisa saja meleset, jika konversi lahan pertanian menjadi pemukiman, industri dan lain sebagainya terus terjadi yang tak seimbang dengan pertambahan penduduk dunia yang melesat tajam. Saat ini bumi menanggung kebutuhan pangan 7 miliar penduduk. Data balita Indonesia yang menderita kurang gizi sebesar 5,12 juta jiwa pada tahun 2003 dan penduduk Indonesia yang berada pada taraf rawan pangan yaitu sebesar < 90% dari rekomendasi 2.000/kal/kap/hari (Khomsan, 2003). Ikan sebagai bahan pangan sumber protein hewani, tingkat konsumsinya pada tahun 2012 sebesar mencapai 33,89 kg/kapita/tahun dan target tahun 2014 adalah 35,14 kg/kapita/tahun. Ikan mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kecerdasan manusia serta kandungan omega 3 yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan menurunkan resiko penyakit jantung serta tekanan darah (Karyadi, 1993).

Mengingat pentingnya mengkonsumsi ikan ditinjau dari manfaatnya, tentunya ketersediaan ikan untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia haruslah terjamin baik secara kualitas dan kuantitas. Namun, pada kenyataannya, komoditas perikanan berkualitas lebih banyak untuk memenuhi pasar ekspor. Lumrah saja, karena tingginya nilai jual dan permintaan. Sedangkan rakyat Indonesia tidak mampu mencicipi lezatnya Tuna, Sidat, Udang Vanname, Kerapu dan lain- lain akibat harganya tak ramah dikantong. Memang banyak alternatif jenis ikan air tawar maupun laut yang tak kalah kandungan gizinya dengan ikan yang kualitas ekspor seperti Bandeng, Mas, Bawal, Ekor Kuning, Kakap, Layang, Layur, dan lain-lain.

Belum lagi nasib nelayan Indonesia sebagai pejuang protein bangsa, nasibnya masih saja jauh dari kata sejahtera. Sekitar 16,2 juta nelayan di Indonesia atau sekitar 44% dari jumlah nelayan yang mencapai 37 juta jiwa hidup di bawah ambang kemiskinan. Seakan mereka tidak mampu menikmati hasil keringat melaut. Ketidakpastian tentang pendapatan, tidak terjangkaunya pendidikan layak dan layanan kesehatan, apalagi mengharapkan rumah layak. Menurut perhitungan, penghasilan perkapita nelayan sebesar 5,9 juta/tahun atau Rp 16.620,-/hari. Standar Bank Dunia penghasilan dibawah US $ 2 (Rp 20.000,-) per hari tergolong berada dalam garis kemiskinan. Begitu tidak dinilainya peran nelayan dalam menyediakan ikan – ikan tersaji di piring yang kita nikmati di rumah.

Kompleksnya permasalahan yang membelenggu nelayan seperti benang kusut tak terurai. Berbagai progam dan miliaran rupiah digelontorkan untuk mengentaskan nelayan dari kemiskinan, nyatanya belum membuat mereka hidup layak. Apa sebenarnya yang salah? Entahlah. Semoga dengan adanya momen peringatan Hari Pangan Sedunia menyadarkan kita untuk gemar makan ikan dan pemerintah terus bekerja keras agar nelayan sejahtera! Selamat hari pangan sedunia! ( Putri Astuti/kw)

 Putri Astuti adalah pewarta warga
http://citizen6.liputan6.com/read/728637/ikan-nelayan-dan-ketahanan-pangan-ri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Ibu

  Perempuan memiliki fitrah untuk menjadi seorang ibu, tapi saya sendiri pun menyadari bahwa saya terlahir pada generasi perempuan yang tida...